TUGU PERMINDO
Tugu ini dibangun pada tahun 1986, disusul dengan pemberian nama Jalan Permindo di kawasan Pasar Raya Padang berdasarkan SK Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang No. 188.45.2.07/SK-Sek/86 Tanggal 14 Juli 1946 tentang Pembentukan Penertiban Pemberian Nama-Nama Jalan Dalam Daerah Kotamadya Padang.
Permindo adalah wujud partisipasi perjuangan di Kota Padang periode 1945-1950. Perang mempertahankan kemederkaan tidak selalu harus dengan adu senjata dan gerilya. Tentara Sekutu termasuk Belanda didalamnya boleh saja unggul peralatan perangnya dan diatas kertas dianggap bisa menguasai setiap daerah, tapi aspirasi yang lahir dari kesadaran berbangsa dan bertanah air adalah sesuatu yang mustahil dapat dimusnahkan oleh kekuatan militer Belanda. Pendidikan merupakan jalan untuk meningkatkan dan mengasah semangat nasionalisme tersebut.
Rencana pendirian Permindo tercetus pada bulan Maret 1949 hasil pertemuan Zaini Arifin Usman, Marah Syafei Shahab, dan Enggak Bahauddin di depan Los Labuang dekat Jalan Permindo sekarang. Padang saat itu situasi berangsur pulih setelah agresi militer Belanda ke-2 (19 Desember 1948). Agresi terakhir negara-negara luar mengecam aksi Belanda yang tidak berprikemanusiaan. Sehingga mulai Januari 1949 perundingan baru kembali dijajaki.
Sampai dengan terlaksananya Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949) ketegangan dalam kota mulai berkurang. Para pejuang yang bergerilya dan rakyat yang sebelumnya mengungsi sudah terlihat lalu lalang namun tetap waspada. Ketiga orang tersebut menyadari bahwa sektor pendidikan harus segera dipulihkan. Bahauddin berpendapat bahwa sekolah-sekolah yang ada saat ini adalah sekolahnya Belanda karena menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, dan ini tidak sesuai dengan aspirasi kaum republiken. Sehingga perlu didirikan sebuah sekolah bercirikan republik, menghimbau kembali agar para pejuang pelajar dan rakyat yang berada diluar kota karena mengungsi atau yang berada di dalam kota agar kembali sekolah. Untuk mewujudkan keinginan tersebut Bahauddin dan dua temannya tadi melihat ada sebuah gedung bekas sekolah Normal Islam Pendidikan Guru Agama Islam (PGAI) di Jati. Bangunan itu masih kosong dan terbengkalai akibat perang kemerdekaan. Saat itu juga tercetus ide akan mendirikan sekolah setingkat SMP dan SMA dan secara spontan pula menamakannya Perguruan Menengah Indonesia atau PERMINDO.
Ide pendirian PERMINDO ini disampaikan kepada H. Wahab Amin, sekretaris PGAI. Menurut H. Wahab Amin untuk mendirikannya dibutuhkan biaya terutama untuk perbaikan gedung dan kelengkapan setiap kelas. Persoalan ini berlanjut dengan CB. Tampubolon seorang pedagang republiken yang juga sahabatnya alm. Bgd. Aziz Chan. Sejak itu semakin rutin pertemuan-pertemuan untuk persiapan pendirian PERMINDO. Pada akhir Maret 1949, Tampubolon menyampaikan rencana ini kepada anaknya Manggara Tambupolon (pernah sebagai anggota DPR), Azwar Anas (mantan Gubernur Sumbar) dan Ali Zen (pegawai suatu bank). Awal April 1949 pertemuan semakin menemukan arahnya setelah bertemu dengan Abd. Madjid, H. Jaâfar, H. Zainin, tokoh ninik mamak seperti Rusad Dt. Perpatih Baringek, Harun Al Rasyid dan Ahmad Burhanuddin (Javasche Bank). Pada tanggal 17 April 1949 diperoleh kesepakatan dengan hasil sebagai berikut :
1. Nama perguruan adalah Perguruan Menengah Indonesa disingkat PERMINDO, terbagi atas tingkat kelas 1 sampai 6, yang sama dengan tingkat SMP dari kelas 1 sampai kelas 3, dan tingkat SMA dari kelas 4 sampai kelas 6. Memakai kurikulum RI.
2. Gedung PGAI di Jati akan digunakan untuk PERMINDO setelah dibenahi seperlunya.
3. CB. Tampubolon bersama tiga sahabatnya akan mengusahakan memperoleh bangku-bangku sekolah serta peralatannya. Tampubolon sendiri menyumbangkan uang sebesar £ 3000 (tiga ribu gulden).
4. Pengumuman dan penerimaan pelajar dilakukan melalui iklan di Koran Penerangan Padang. Sedangkan pendaftarannya di kantor Percetakan Gazaira di sebelah Bioskop
Rio, dengan membayar uang pangkal sebanyak £ 10 (sepuluh gulden) setiap pelajar. Uang ini akan digunakan untuk biaya perlengkapan sekolah.
5. Untuk struktur organisasi, diusulkan untuk Direktur PERMINDO adalah Ir. A.H.O Tambunan, mantan staf komisariat pemerintah pusat yang berkedudukan di Bukittinggi. Zaini Arifin Usman sebagai wakil direktur, Marah Syafei Sahab sebagai pengawas penertiban (prefect van orde), dan Bgd. Aliuddin dan Enggak Bahauddin ditugaskan pada bagian tata usaha dan keuangan.
6. Tenaga guru diusahakan dari guru sekolah menengah yang pulang dari pengungsian. Termasuk juga pegawai negeri yang dianggap mampu mengajar disekolah lanjutan.
7. Mengenai izin, menurut H. WahabAmin sebagai sekretaris PGAI untuk sementara masih bisa menggunakan izin sejak Belanda dulu yang diakui sebagai Sekolah Normal Islam, dan kemudian baru diganti dengan nama PERMINDO.
Sampai akhir April 1949 Tampubolon bersama Marah
Syafei Sahab, Zaini Arifin Usman dan Enggak Bahauddin berkeling kota dan sampai keluar kota untuk mencari bangku-bangku sekolah yang tidak terpakai. Mereka juga memperoleh beberapa bangku yang diberikan Cuma-suma oleh masyarakat. Bantuan seperti ini menunjukkan bahwa penduduk yang memberikan bantuan terutama dari luar kota masih memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan berjiwa republiken. Namun karena lebih kurang 10 kelas yang akan diperbaiki, maka dirasa perlu pekerjaan borongan untuk pembuatan bangku, perbaikan gedung seperti atap, jendela, pintu dan pengecatan dinding, karena bangunan ini sudah lebih dari tiga setengah tahun ditinggal mengungsi. Disinilah besarnya jasa bantuan dana dari Tampubolon sehingga perbaikan keseluruhan gedung dapat terlaksana. Pekerjaan pembuatan bangku dikerjakan oleh Meizar (Lenggang) orang tua dari salah seorang pelajar PERMINDO. Pada hari Senen, tanggal 2 Mei 1949, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, Gedung PERMINDO di Jati resmi dibuka, dan sekaligus membuka pendaftaran untuk pelajar baru. Untuk guru pengajar telah banyak yang melaporkan dirinya, para guru ini terbagi atas guru istimewa dan guru biasa, yaitu :
1. Dr. Rasyiddin (guru istimewa, mengajar Ilmu Hayat/Kesehatan)
2. Mr. Nazaruddin (guru istimewa, mengajar Sejarah/Tatanegara)
3. Zainuddin Aziz (guru istimewa, mengajar Ekonomi/ Tatabuku)
4. Marah Ismael (guru istimewa, mengajar Bahasa Indonesia)
5. Ir. AHO. Tambunan (guru biasa, Direktur PERMINDO, mengajar pengetahuan umum)
6. Zaini Arifin Usman (guru biasa, wakil direktur, mengajar Ilmu Latin/Bahasa Jerman)
7. Marah Syafei Sahab (guru biasa, mengajar Ilmu Alam/Ilmu Ukur Ruang)
8. Karim Yusuf (guru biasa, mengajar Kimia Organik/Ilmu Ukur Alam)
9. Rusli Aman (guru biasa, mengajar Bahasa Inggeris)
10. Marsini Rasad (guru biasa, mengajar Olah Raga)
11. Nurbahri (guru biasa, mengajar Ilmu Ukur)
12. Bachtar Djamaluddin (guru biasa, mengajar Ilmu Hayat)
13. Noto Sutardjo (guru biasa, mengajar Sejarah/Istilah internasional)
14. Nurdjanah Sutardjo (guru biasa, mengajar Bahasa Belanda)
15. H. Wahab Amin (guru biasa. Mengajar Agama/Bahasa Arab)
Jumlah kelas yang tersedia waktu pendirian itu adalah sebanyak 10 ruang, yang digunakan untuk kelas I (2 kelas), kelas II (3 kelas), Kelas III (2 kelas), Kelas IV (2 kelas), Kelas V (1 kelas), dan kelas VI (belum ada kelas). Sampai awal Juni 1949, jumlah pelajarnya sudah mencapai 100 pelajar dan setiap harinya selalu bertambah dimana sampai akhir Juni bertambah sebanyak 300 orang pelajar. Pada akhir Juli 1949 PERMINDO mengadakan ujian naik kelas yang menandakan masuknya tahun ajaran baru pada awal Agustus 1949. Diawal tahun ajaran baru ini terjadi penambahan guru biasa, yaitu : 1. Zein Djamil (mengajar Bahasa Inggeris/Geografi)
2. Abu Bakar St. Lembang Alam (mengajar Sejarah/Aljabar)
3. Agus Thaib (mengajar Ilmu Hayat/Kimia Organik)
4. Amor Ibrahim (mengajar Ilmu Alam)
5. St. KDM Pontas Nasution (mengajar Mekanika/Ilmu Ukur Melukis)
6. Ilyas St. Pamenan (mengajar Bahasa Indonesia/Sastra)
7. Yunizar Rosman (mengajar Bahasa Jerman)
8. Titi Akmam (mengajar Bahasa Prancis)
9. Rasyid Manan (mengajar Ilmu Ukur Sudut)
10. Zainuddin St. Kerajaan (mengajar Bahasa indonesia) Jumlah kelas pun meningkat ditahun ajaran baru itu, yaitu kelas I (2 kelas), kelas II (2 kelas), kelas III (3 kelas), kelas
Proses belajar mengajar setiap kelas berlangsung dalam suasana kebangsaan. Kenangan selama agresi dan penjajahan Belanda, bahkan jauh kebelakangnya pada masa sebelum dan sesudah datangnya Jepang, tentu masih membekas dan sulit untuk dilupakan. Justru kesamaan itulah yang menyebabkan suasana belajar selalu diiringi dengan semangat juang dan semangat untuk menghapus penjajahan dari muka bumi. Agresi Belanda kedua baru beberapa bulan berlalu namun kondisi Kota Padang belum pulih sepenuhnya karena tentara dan para pegawai Belanda masih menjalankan aktivitas kependudukannya. PERMINDO bagi mereka dianggap sebagai gerakan baru yang mungkin akan menimbulkan kesulitan baru. Untuk mengatasi tidak terjadinya tindakan-tindakan Belanda yang dapat menganggu PERMINDO, seorang guru biasa bernama Nurdjana Soetardjo yang pandai berbahasa Belanda âmenyusupâ ke dalam tangsi militer Belanda. Dalam penyusupannya itu Nurdjana mengajarkan Bahasa Indonesia dan perlahan menyampaikan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sehingga akhirnya para tentara Belanda itu merasa segan untuk menganggu aktivitas PERMINDO.
PERMINDO juga aktif dalam kegiatan keolahragaan seperti bulutangkis, tenis, bola keranjang, atletik, berenang dan sepakbola. Pertandingan pun sering diadakan baik antar kelas maupun dengan sekolah Belanda seperti OMS dan Fraterschool. Padang sampai akhir 1949 masih berada dalam kependudukan Belanda.
PERMINDO dibidang olahraga lebih dikenal dengan Kesebelasan Sepak Bola PERMINDO, yang cukup terkenal di Kota Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya. Kesebalasan ini cukup mampu mengangkat kembali semangat nasionalisme karena punya olahraga yang juga diminati oleh tentara Belanda. Bila PERMINDO ikut bertanding maka lapangan selalu ramai dikunjungi penonton. Kesebelasan PERMINDO sempat juga melakukan pertandingan dengan kesebelasan Belanda yang didominasi olah tentaranya. Pemain dari kesebelasan PERMINDO adalah :
1. Penjaga Gawang ; Aisniem Muthalib, Syahril Djosen, Mahmuddin Saoudin, dan Achir Saleh .
2. Pertahanan ; Akmal Idris, St. Arsyad, Syofyan Kahar (kapten kesebelasan), Yunizar (penjaga gawang), Mhd. Sadar, Piet-
er Pentury, Syahrial, dan Bakri.
3. Gelandang ; Mashur.
4. Penyerang ; Ismael Ibrahim, St. Chaidir Yusuf, Zulzain Djamal, Maharuddin Kone, Abdul Hadi, Martunus, Syafei Sulin, Edwar Idroes, dan Azhar Noerdin.
Pertandingan itu dikawal khusus oleh Belanda dengan menerjunkan Nefis (Netherlands Foreign Intelligence Service) semacam dinas intelijennya Belanda, untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan akibat aksi balas dendam setelah agresi kedua dan saat pertandingan itu dilaksanakan Kota Padang sedang dalam gencatan senjata (15 Agustus 1949).
Walaupun secara resmi gencatan senjata sudah disepakati bukan serta merta Kota Padang sudah aman. Aroma kependudukan Belanda masih terasa. Jajaran PERMINDO atau para pelajarnya terkadang harus hati dalam bertindak atau mengadakan suatu kegiatan. Sebab setiap aktivitas bahkan riak sekalipun selalu tak luput dari pantauan Nefisnya Belanda.
Beberapa gerakan yang mengharumkan nama PERMINDO dan menjadikan Padang pantas disebut kota perjuangan dapat diketahui sebagai berikut:
1. Pawai kebangsaan
Keberadaan PERMINDO di Kota Padang ditanggapi penguasa Belanda dengan sikap tidak pasti. Pendirian perguruan ini memang tidak memenuhi peraturan-peraturan Kolonial Belanda. Belanda sendiri tidak bisa berbuat banyak atau dapat melakukan tindakan-tindakan militer seperti sebelum agresi ke-2. Belanda sudah banyak mendapat tekanan di tingkat internasional akibat aksinya tersebut, yang disusul dengan perjanjian Roem-Royen serta pengembalian pemimpin republik (Soekarno-Hatta) ke Yogyakarta. Belanda tidak senang dengan sesuatu yang sifatnya nasionalis. Belanda berusaha memaksakan kehendaknya, seperti gagasan etnis terbentuknya Negara Minangkabau atau disebut juga Negara Istimewa Sumatera Barat (NISBAR) melalui pembentukan Balai Pemusyawaratan Sementara (BPS), yang anggotanya oleh Belanda sengaja diambil dari para tokoh atau ninik mamak yang dianggap berpihak kepada Belanda. Persoalan lain yang dihadapi PERMINDO adalah masih adanya rakyat yang berpihak kepada Belanda karena janji-janji, atau golongan etnis yang terang-terangan masih pro Belanda.
Untuk memanfaatkan momentum Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949), maka para guru dan pelajar PERMINDO yang umumnya adalah pelajar-pelajar pejuang dan bekas Tentara Pelajar merencanakan melakukan aksi turun ke jalan. Persiapan pun dilaksanakan. Beberapa orang tokoh PERMINDO berkumpul, turut juga hadir Syafei Sulin, Norman Munaf, Anwar AS., Idrian Idroes, Edwar Idroes, Syafei Noerdin, dan Muchtar. Semuanya dari unsur TNI. Pelaksanaan pawai berdasarkan hasil pertemuan itu akan dilangsungkan antara tanggal 3 dan 6 Juni 1949. Permohonan izin kepada penguasa Belanda melalui kepolisian Kota Padang adalah akan mengadakan kegiatan wisata sekolah (school excursie) ke Pantai Air Manis, sebuah kampung nelayan yang terletak lebih kurang 4 km arah selatan Kota Padang. Sebenarnya pelaksanaan pawai ini adalah untuk melakukan tekanan-tekanan psikologis kepada golongan etnis dan rakyat yang masih berpihak kepada Belanda. Tanggal 4 Juni 1949 pawai itu pun dilaksanakan. Peserta pawai jumlahnya sebanyak 100 orang pelajar PERMINDO yang dipimpin langsung oleh Direktur PERMINDO, Ir. AHO. Tambunan dan didampingi oleh beberapa orang guru. Barisan pawai melintas di jalan-jalan raya sambil menyanyikan lagu perjuangan diantaranya lagu âBarisan Jalan Kakiâ, âDari Barat Sampai ke Timurâ, dan âYang Mulia Soekarnoâ. Ramai orang melihat pawai tersebut termasuk beberapa orang Cina. Mereka terkesan karena tidak melihat adanya poster atau bendera layaknya barisan pawai itu selain nyanyian perjuangan. Namun ketika melewati jalan Pasar Raya Padang, beberapa orang pemuda bersorak-sorak meneriakan pekikan âMerdeka ... Merdekaâ yang dibalas oleh peserta pawai dengan âTetap Merdekaâ. Kejadian itu sangat menjengkelkan polisi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan Nefis yang memang selalu mengawal barisan pawai tersebut, dan lalu mencari pemuda yang berteriak tersebut. Namun mereka telah menghilang diantara kerumuan penonton. Beberapa hari kemudian Ir. AHO. Tambunan dipanggil menghadap Controluer (Pejabat Tinggi Belanda) yang diwakili oleh Marah Syafei Sahab karena pada saat bersamaan sedang berada di Bukittinggi. Pertanyaan Controluer adalah mengapa pelajar PERMINDO memakai lencana dan berbaris sambil menyanyikan lagu perjuangan. Marah Syafei Sahab pun menjawab bahwa yang demikian itu telah sesuai dengan izin yang diberikan dan larangan hanya tidak diperbolehkan membawa poster atau bendera. Controluer terpaksa melepas Marah Syafei Sahab karena tidak ada alasan tepat untuk menahannya.
2. Perayaan Peringatan 17 Agustus 1949
Tiga minggu sebelum tanggal 17 Agustus, beberapa orang pelajar PERMINDO telah membentuk panitia dan menyampaikan permohonan izin kepada Direktur PERMINDO. Seketika timbul kecemasan karena takut akan keselamatan jiwa jika perayaan itu diadakan. Namun karena semangat republiken yang tinggi, izin akhirnya diberikan. Rencana perayaan HUT RI ke-IV dilaksanakan di halaman PERMINDO yang akan diikuti oleh pelajar, guru dan beberapa orang undangan saja. Permohonan izin yang disampaikan kepada Controluer ternyata tidak seketika diberikan. Tapi berkat kesabaran dan mampu menahan emosi izin itu akhirnya permohonan dikabulkan dengan syarat perayaan dilakukan di halaman Sekolah PERMINDO. Ditambah lagi dengan rekomendasi persetujuan Nefis yang memberikan pertimbangan bahwa tidak berapa lama masa gencatan senjata akan segera dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1949. Walaupun kenyataannya pada saat perayaan berlangsung militer Belanda tetap saja mengintimidasi dengan mengerahkan mobil panser ke tempat perayaan.
Sebenarnya para pelajar PERMINDO yang menggagas acara ini tetap akan melaksanakannya walaupun tidak mendapat izin, apalagi perayaan ini jauh sebelumnya telah disebarluaskan sampai ke luar kota.
Peringatan yang ditunggu itu terlaksana pada pukul 10.00 Wib tanggal 17 Agustus 1949. Hadir juga para tokoh ninik mamak, sebagian diantara adalah anggota BPS. Inilah perayaan HUT RI terbesar yang dilaksanakan dalam masa kependudukan Belanda. Berkat kerja keras seksi Humas Permindo maka berduyun-duyunlah masyarakat Kota Padang dan dari luar kota untuk menyaksikan penaikan Sangsaka Merah Putih dan ingin ikut serta menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Seketika terlihat ribuan orang yang mebludak sampai ke luar pagar dan memenuhi lapangan sepakbola yang berada didepan bangunan PERMINDO (PGAI) itu. Corong pengeras suara semakin menyemarakkan upacara tersebut. Polisi militer Belanda dan kendaraan pansernya siap sedia melakukan pengawalan tapi sesungguhnya adalah intimidasi agar masyarakat membubarkan diri. Mereka bukan mengawal yang sesunggguhnya karena formasi yang mereka buat adalah formasi siap tembak. Suasana semakin mencekam ketika tersiar kabar bahwa salah seorang pelajar PERMINDO, Adlin Yakub, dijemput Polisi NICA ketengah upacara dan ditahan semalam dipenjara. Adlin Yakub dituduh telah membangkang karena menaikan bendera merah putih didepan rumahnya di Jalan Terandam 17 sebelum berangkat ke gedung PERMINDO. Pembacaan teks proklamasi dibawakan oleh Zainal Zein, pemegang naskah Yasmeini Yazir dan Dewi. Pada saat penaikan Sangsaka Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya secara bersama-sama termasuk masyarakat yang berada di luar, panser Belanda mencoba membubarkan masyarakat diluar pagar tersebut sehingga membuat masyarakat terdesak. Desakan panser itu merobohkan pagar seng pembatas sehingga berbunyi keras. Untunglah tidak terjadi kepanikan. Justru Belanda yang terpaksa menarik pasukan dan pansernya mengingat mereka telah melakukan kesalahan karena dalam situasi gencatan senjata. Sebelum acara selesai panser Belanda dan pasukannya telah pergi dan PERMINDO menyatu dengan masyarakat yang semakin menambah hikmatnya upacara. Acara penaikan pembacaan teks proklamasi dan penaikan bendera merah putih ditutup dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Ismael Ibrahim. Acara lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti â17 Agustusâ dan âIndonesia Suburâ. Penyampaian pidato untuk acara selanjutnya disampaikan oleh Zaidin Djamin (Ketua Umum Panitia), Ir. AHO. Tambunan (Direktur PERMINDO), Mr. Harun Al Rasyid, dan Noto Soetardjo ( mewakili majelis guru).
Pada pukul 18.00 Wib dilakukan penurunan Sangsaka Merah Putih. Upacara ini dilaksanakan sendiri oleh pelajar PERMINDO. Perayaan terus berlangsung sampai pukul 22.00 yang diisi dengan acara malam kesenian. Pemain piano untuk mengiringi penyanyi dimainkan oleh Desmaniar Idroes yang kemudian menjadi istri Ahmad Husein.
3. Penerbitan Majalah âSiswa Merdekaâ
PERMINDO kembali mengukir prestasinya. Bagian Humas PERMINDO berhasil menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama âSiswa Merdekaâ. Edisi pertamanya dijual terbatas dengan harga Rp. 0,25 pada saat perayaan HUT RI tanggal 17 Agustus 1949. Penasehat redaksi majalah ini adalah Noto Soetardjo. Tujuan penerbitan majalah ini adalah:
a. Memperjuangkan hak terutama hak demokrasi yang menuntut kebebasan pelajar untuk menyatakan pendapat.
b. Menjunjung tinggi wawasan nasional dan budaya bangsa.
c. Memperkuat silaturahmi antara peajar.
Edisi kedua diterbitkan pada 3 September 1949 dan ketiga pada 17 September 1949. Kembali cobaan datang menghadang. Edisi pertama dan kedua sempat beredar luar ditengah masyarakat. Namun pada edisi ketiga, disita oleh Nefis di tempat percetakaannya, Percetakan Gazaira. Majalah itu dinilai oleh Nefis telah melakukan penghasutan melalui tulisan-tulisan. Majalah ini dilarang terbit karena tidak memiliki izin.
4. Penyambutan dan Penculikan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX
Berita kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX pada tanggal 25 September 1949 ke Kota Padang telah diketahui sebelumnya oleh pihak PERMINDO. Walaupun Belanda sengaja merahasiakannya karena tidak ingin semakin tumbuhnya semangat nasionalisme dijiwa masyarakat Kota Padang, terutama sekali para pelajar dan pengurus
PERMINDO.
Menyadari hal itu, PERMINDO menyusun siasat untuk âmenculikâ Sultan HB IX ketika pesawatnya mendarat di Pelabuhan Udara Tabing. Tujuan penculikan ini adalah agar Sri Sultan terlebih dahulu berkenalan dengan PERMINDO sebagai satu-satunya perguruan berjiwa republiken sebelum dihubungi dan dimanfaatkan oleh pihak yang berbau etnis atau pihak lain yang masih belum yakin akan kemerdekaan RI.
Rencana dan skenario pun disusun. Pihak intel Belanda seperti Nefis dan polisi militernya yang berjaga-jaga di sekitar lapangan dan ditangga pesawat sesungguhnya telah melakukan pengawalan ketat. Namun melihat banyaknya para pejabat lokal dan masyarakat yang memenuhi lapangan tersebut, akhirnya Sri Sultan terpisah dari rombongan. Diantara kerumunan massa itu terdapat para pelajar PERMINDO sambil membawa bendera merah putih, ditambah pekik sorak kemerdekaan, yang tentu saja menutupi pemandangan Belanda dan tidak memungkinkan bagi Belanda untuk melepaskan tembakan peringatan. Dalam kerumunan itulah Sri Sultan digiring masuk mobil CB. Tampubolon yang sedang parkir dipinggir lapangan dan membawa Sri Sultan menuju rumahnya di Jalan Ujung Kampung Jawa.
Ditempat kediamannya, Tampubolon menyampaikan permintaan maaf dan menceritakan keberadaan PERMINDO sebagai perguruan yang pro republik. Sri Sultan pun diajak singgah sebentar untuk melihat gedung PERMINDO yang kosong karena saat itu adalah hari Minggu. Sri Sultan berjanji akan kembali setelah berkunjung ke Bukittinggi.
Sri Sultan datang dengan pakaian seragam TNI-AD dengan pangkat Letjen dan menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI. Kedatangannya ke Kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya adalah dalam rangka pengamanan gencatan senjata (cease fire). Meninjau daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan memeriksa pelaksanaan gencatan senjata yang telah disepakati. Setelah istirahat sejenak di gedung PERMINDO, Sri Sultan kembali bergabung dengan rombongannya untuk meneruskan perjalanan ke Bukittinggi, karena pada hari Minggu itu juga, malam harinya akan ada pertemuan dengan Gubernur Sumatra Barat Mr. Nasrun, Komisi Perdamaian Dunia UNCL-PBB, dan tokoh-tokoh lainnya. Ikut serta dalam rombongan ke Bukittinggi itu Zaini Arifin Usman dan Marah Syafei Sahab. Dimana kedua orang pendamping ini dihadapan Gubernur Militer Mr. Nasrun melaporkan keberadaan perjuangan PERMINDO. Sekembalinya dari Bukittinggi, Sri Sultan menepati janjinya untuk singgah ke gedung PERMINDO, yang disambut oleh pelajar PERMINDO dan ribuan masyarakat Kota Padang yang memadati halaman PERMINDO. Dalam sambutannya Sri Sultan memuji dan terkesan dengan eksistensi PERMINDO yang bisa berjuang walau berada dibawah kekuasaan Belanda. Setelah selesai menyampaikan sambutan, Sri Sultan dibawa masuk ke dalam gedung PERMINDO untuk berbincang dengan pelajar, guru dan jajaran kepengurusan PERMINDO. Pada siang harinya Sri Sultan beserta rombongan diundang makan siang kerumah Hadis Didong, seorang pengusaha di Kota Padang.
5. Peringatan Hari 10 November 1949
Bulan November 1949 adalah hari-hari mendekati kemerdekaan sepenuhnya bagi bangsa Indonesia dari penjajahan kembali Belanda yang membonceng dengan pasukan Sekutu. Namun demikian pengaruh militer Belanda masih bisa dirasakan oleh rakyat. Dikota Padang setiap kegiatan masyarakat selalu dipantau oleh kaki tangan Belanda atau Nefisnya. Pada dasarnya kecil kemungkinan jika aksi sekecil apapun ditanggapi secara militer, tapi rasa was-was selalu membayangi Kota Padang saat itu.
Begitu juga PERMINDO, setelah berhasil membuka cakrawala orang banyak melalui kegiatan-kegiatan sebelumnya, maka pada hari pahlawan 10 November 1949, para pelajar pejuang PERMINDO akan memperingatinya secara hikmat dan besar-besaran.
Peringatan hari pahlawan tersebut dilangsungkan di kawasan Pasar Raya Padang tepatnya digedung Bioskop Rio (Bioskop Mulia sekarang). Suasana dalam gedung penuh sesak sampai keluar oleh pelajar PERMINDO dan masyarakat Kota Padang. Semangat kebangsaan yang bergelora terasa sekali. Pasar Raya Padang yang biasa ramai dan sibuk, pagi itu lengang karena semua orang berada disekitar gedung bioskop Rio.
Seorang pelajar PERMINDO, Agustina, membuka acara dengan memimpin nyanyian âGugurlah Pahlawanâ, âIndonesia Suburâ dan lagu perjuangan lainnya yang diikuti oleh pelajar PERMINDO dan mendapat tepuk tangan dari masyarakat yang hadir. Acara dilanjutkan pidato dari panitia dan para guru. Ketika seorang guru PERMINDO, Noto Soetardjo, tampil berpidato dengan semangat berapi-api dan meneriakkan pekik âMerdeka ....â, maka Walikota Belanda (Burgermeester) Dr. A. Hakim yang juga hadir secara spontan membalasnya dengan teriakan yang sama. Upacara di Bioskop Rio kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke Makam Pahlawan Mutiara Padang Besi Indarung yang berjarak ± 15 km dari Kota Padang. Jalan ke sana ditempuh dengan membentuk barisan dan berjalan kaki. Disepanjang jalan barisan pelajar pejuang PERMINDO yang berjumlah ± 400 orang disambut oleh masyarakat sambil melambaikan bendera merah putih.
Upacara di Taman Makam Pahlawan Mutiara Padang Besi dipimpin langsung oleh Zaini Arifin Usman dan pembacaan doa oleh Buya H. Ilyas.
6. Penyambutan Kunjungan Wakil Presiden Bung Hatta PERMINDO selalu penuh kejutan dan terlihat jelas ingin menonjolkan semangat nasionalisme. Masih di bulan yang sama, yaitu tanggal 29 November 1949, Wakil Presiden Bung Hatta sengaja datang ke Sumatera Tengah dalam rangka pemulihan kekuasaan RI setelah menghadiri Sidang Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda (23 Agustus â 2 November 1949). Kedatangan Bung Hatta beserta rombongan di Pelabuhan Udara Tabing disambut oleh Residen Van Straten dan Kol. Van Erp. Sebelumnya PERMINDO telah membuat beberapa persiapan, yaitu membentuk satu peleton khusus lengkap dengan pasukan pembawa bendera merah putih, kalung bunga, satu regu yang menyannyikan Lagu Indonesia Raya. Peleton PERMINDO ini berangkat dari gedung PERMINDO Jati menuju Lapangan Udara Tabing dengan mengendarai sepeda. Ketika Bung Hatta keluar dari dari pesawat segera Zoraida Djamin (adik Awaluddin Djamin) memberikan kalungan bunga, dan dilanjutkan dengan Lagu Indonesia Raya yang dipimpin oleh Yuwardi Kahar. Seketika Bung Hatta berdiri tegak lurus dan dengan penuh hikmat ikut nyanyi bersama. Tentunya diikuti juga oleh rambongan penyambutan tamu lainnya. Diantara yang hadir terlihat Gubernur Militer Mr. Nasrun, Dr. Rahim Usaman dan Datuk Majo Urang.
Dari
Lapangan Udara Tabing, Bung Hatta dibawa ke rumah Mr. Egon Hakim untuk
beristirahat yang berada di Jalan Sawahan (sekarang Jl. H. Agus Salim
No. 17). Kembali disini PERMINDO memberi andil penuh. Arifin Usman dan
Marah Syafei Sahab telah mempersiapkan segala kebutuhan selama di
Padang. Misalnya untuk keamanan, rumah Mr. Egon Hakim, PERMINDO
menjaganya siang dan malam dibawah komando Ismael Ibrahim dengan
anggotanya Syafei Pingai, Edwar Idrus, Dahlan Rivai, Syarifuddin,
Syofyan Kahar, Syafei Sulin, Meizar Lenggang, Muchtar
Aziz, Zainal Zein, Aki, Yulius, Idrian Idrus dan pelajar pejuang PERMINDO lainnya.
Pada sore harinya Bung Hatta menghadiri pertemuan di Oranje Hotel (Innar Muara Hotel sekarang) untuk menyampaikan hasil perundingan KMB yang baru diikutinya. Pertemuan itu dihadiri oleh para wartawan, tokoh-tokoh RI, termasuk Bupati Sawahlunto (Djamalus Yahya). Dalam pertemuan itu PERMINDO tampil mengisi selingan acara dengan pertunjukan kesenian seperti tari-tarian dan nyanyi-nyanyian, yang tentu saja mendapat sambutan hangat dari Bung Hatta dan hadirin lainnya.
Keesokkan harinya pukul 16.00 Wib., 30 November 1949, Bung Hatta tampil lagi dalam suatu rapat terbuka di Lapangan Dippo (Taman Budaya sekarang). Tentunya PERMINDO ambil bagian dalam acara tersebut, yaitu dengan menghadiri seluruh pelajar pejuang PERMINDO sehingga Lapangan Dippo penuh sesak.
7. Pemulihan Kekuasaan RI di Kota Padang
Sebenarnya sejak Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949) dan tekanan-tekanan politik dari negara lain seperti India dan Australia, Belanda telah kalah dan semestinya menyerahkan kekuasaan sepenuhnya ke pangkuan RI. Namun Belanda masih merasa pejuang bangsa ini dapat dikelabuinya dengan janji-janjinya, ditambah dengan Belanda selalu mendapat dukungan dari golongan etnis dan rakyat yang pro Belanda, dan itu semata-semata bukan untuk kepentingan bangsa ini. Begitu juga di Kota Padang, Belanda selalu licik dengan mengulur-ulur waktu tentang status kota sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Barat dan status untuk bergabung dengan Pemerintahan RI di Yogyakarta. Serah terima kekuasaan di Kota Padang berlangsung tanggal 27 Desember 1949 antara Residen Van Straten kepada Gubernur Militer Sumatera Tengah Mr. M. Nasroen. Penyerahan ini atas kuasa dari Anak Agung Gde Agung, wakil ketua Panitia Persiapan Nasional (PPN). PPN ini merupakan bagian dari tarik ulur waktu Belanda untuk meneruskan tujuan negara bonekanya. Anak Agung Gde Agung sendiri masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada tanggal yang sama juga sedang berlangsung penyerahan kekuasaan secara resmi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia, dari A.H.S Lovink kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
PERMINDO sendiri tidak mau tinggal dalam momen bersejarah tersebut. PERMINDO membentuk panitia upacara yang terdiri dari majelis guru dan para pelajar. Upacara awal untuk menyatukan barisan dilakukan pagi harinya di Lapangan Dippo. Dalam upacara itu dilangsungkan kampanye yang diprakarsai oleh M. Ali Zen sambil membagikan selebaran teks lagu kebangsaan Indonesa Raya dan lagu pejuangan lainnya. Upacara berlangsung singkat karena PERMINDO harus melakukan berbagai persiapan.
Acara serah terima kekuasaan berlangsung di di Lapangan Plein Van Rome (Lapangan Imam Bonjol sekarang) pada pukul 16.30 Wib. Sebelumnya PERMINDO bersama masyarakat Kota Padang telah berbaris disepanjang jalan menuju kelapangan tersebut. Sambil menunggu datang pasukan TNI, PERMINDO bersama masyarakat menyanyikan lagu âSang Merah Putih Benderakuâ. Seorang ninik mamak bernama Datuk Majo Urang tiba-tiba meneriakkan âKota Padang sebagai ibukota Sumatera Barat bersatu saja dengan Jogyaâ. Walau terkejut akhirnya PERMINDO bersama masyarakat meneriakkan kalimat tersebut berulang kali.
Tidak berapa lama kemudian terlihat barisan pasukan TNI dari Sumatera Tengah memasuki Lapangan Plein Van Rome. Pasukan TNI tersebut adalah Brigade Banteng yang terdiri dari Batalyon Kuranji, Batalyon Pagaruyuang, Batalyon Buayo Putiah, Batalyon Gumarang, Batalyon Kinantan dan Batalyon Sibinuang.
Sejak saat itu otomatis Kota Padang kembali sepenuhnya kepangkuan RI. Dan ternyata berdampak langsung terhadap sekolah-sekolah lain. Seperti Sekolah Frater dan Zuzter yang sebelumnya menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantra, menggantinya dengan Bahasa Indonesia. Bahkan para siswa sekolah tersebut juga ikut dalam rombongan pelajar PERMINDO. Seorang pelajar putri Zuzter bernama Treesje Siauw membawa Bendera Merah Putih dalam barisan PERMINDO menuju lapangan Plein Van Rome.
Beberapa
hari setelah penyerahan kekuasaan, Pemerintah RI melakukan berbagai
perubahan pembangunan bangsa setelah sekian lama dijajah bangsa asing.
Hal itu berimbas kepada PERMINDO. Pada tanggal 2 Januari 1950, PERMINDO
yang terdiri dari SMP dan SMA dipindahkan dari Jati ke gedung sekolah di
Jl. Jend. Sudirman sekarang, menempati dua gedung terpisah yaitu SMP 1
Padang (dulunya MULO, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan SMA 1 Padang (dulunya ELS, Europeesche Lagere Schoo).
Serah terima PERMINDO dilakukan oleh Karim Yusuf sebagai Direktur
Terakhir PERMINDO kepada Zainuddin Sutan Kerajaan, Kepala Jawatan
P&K Sumatera Tengah sebagai wakil Pemerintah RI. Sejak saat itu
secara tak langsung nama PERMINDO tidak pernah terdengar lagi.
Tugu
Permindo ini didisain oleh Drs. Amril M.Y. Dt. Garang dan
pembangunannya dikerjakan oleh beberapa guru SMSR Padang (SMKN 4 Padang
sekarang).