TUGU PERJUANGAN RAKYAT PAUH
Tugu ini dibangun tahun 1989 untuk memperingati hebatnya perjuangan masyarakat Pauh yang gugur mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Sekutu dan Belanda hanya dengan menggunakan senjata yang dirampas dari Jepang atau gudang senjata Sekutu, dan dengan bambu runcing.
Pauh sebagai wilayah kecamatan sekarang, dulunya sering disebut Pauh V (Pauh) dan Pauh IX (Kuranji). Dua wilayah ini hampir tidak bisa dipisahkan peranannya karena merupakan daerah yang bersebelahan dengan struktur alam yang sama. Pauh dan Kuranji, khususnya Pauh, bagi penjajah Belanda merupakan wilayah sulit ditaklukan dan orang-orangnya keras kepala berjuang dan gigih.
Dalam rentang 1665â1740 menurut catatan sejarah tercatat 20 kali perlawanan rakyat Paut terhadap kekuasaan VOC-Belanda. Jumlah itu belum termasuk kerusuhan kecil yang membuat Belanda kewalahan. Pusat-pusat perjuangan saat itu adalah Piai-Pasabaru, Kuranji, Korong Gadang, Kalumbuak, Kampung Marapak, Lubuk Lintah dan sampai menjurus ke arah kota. Seluk beluk daerah itu sulit dipadamkan semangat juangnya oleh Belanda. Pemerintah VOC Belanda mengalami banya kerugian, baik nyawa maupun biaya untuk perang. Rakyat Para pemimpin Pauh-Kuranji yang dikenal dengan sebutan "Si Ampek Baleh "(14 orang penghulu) seperti Rajo Perak, Rajo Lebe, Sutan Mulia, Rajo Bangsawan, Maharajo Lelo, Rajo Bonsu, dan Sutan Basa, sering mengancam dan menyerang Padang dan sekitarnya. Serangan terhadap Padang semakin menjad-jadi ketika Padang diduduki Belanda. Serangan itu terjadi berulang-ulang. Tahun 1679 dan 1682 Pauh pernah diserang Belanda namun dengan gagah berani rakyat Pauh memukul mundur Belanda kembali ke Padang. Tahun 1688 dan 1691 secara bergelombang Belanda menyerang Pauh secara besar-besaran. Pauh dibakar dan diratakan dengan tanah. Rangkaian perlawanan dan diserang oleh Belanda itu diceritakan turun temurun dan generasi ke generasi sehingga menjelma dalam sikap keras terhadap kehadiran bangsa asing yang ingin menjajah.
Ketika proklamasi Indonesia dikumandangkan, rakyat Pauh menyambut sangat gembira, namun ketika tersiar kabar Sekutu akan datang bersama Belanda dengan alasan melakukan pengamanan pengembalian Pasukan Jepang ke negaranya, maka tidak satupun rakyat Pauh menerimanya. Tindakan gerak cepat segera diambil. Senjata-senjata Jepang harus direbut sebelum jatuh ke tangan Sekutu.
Menghadapi Sekutu dengan bambu runcing, batu dan senjata alami lainnya tidak akan mendatangkan hasil maksimal karena lawan dilengkapi dengan senjata api. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian terjai insiden-insiden kecil merebut senjata dari tangan Jepang. Bagi yang dengan sukarela diserahkan Jepang maka itulah modal untuk berperang melawan Sekutu. Begitu juga dengan pemuda yang menjaga bangunan-bangunan pemerintah yang diserahkan dan ditinggalkan Jepang harus mereka jaga dengan senjata apa adanya. Bangunan ini pun suatu saat akan direbut paksa oleh Sekutu untuk kepentingan pasukannya.
Pada awal bulan Oktober 1945 sebelum mendaratnya Sekutu (13 Oktober 1945) gudang senjata dan markas Jepang di Ulu Gadut diserang oleh para pemuda-pemuda pejuang. Penyerangan ini dipimpin oleh Rasjid dan Abdoellah Aceh, yang dbantu kemudian oleh A. Rahman, Aladin Uncu, Abdoellah Kaigun, Marsumi Musa dan Kundua, serta beberapa orang lainnya. Tembak menembak pun mewarnai keinginan untuk merebut senjata itu. Namun karena jumlah penjaga Jepang yang sedikit akhirnya pertempuran pun dimenangkan dengan membawa senjata mesin ringan, 30 buah karaben, granat tangan dan beberapa peti peluru. Sekutu yang datang terlambat kemudian memindahkan sisa-sisa senjata dan peralatan perang lainnya ke dalam kota.
Setelah mendaratnya Sekutu, 13 Oktober 1945, ketegangan semakin meningkat. Sampai akhir 1945 tiada hari tanpa pertempuran. Sampai tahun 1946 pertempuran semakin menjadi-jadi. Padang kota dan Padang luar kota selalu menjadi ajang persengketaan antara Sekutu dan pejuang republik.
Tanggal 18 Juni 1946 malam, polisi tentara istimewa pimpinan Letnan Anwar Banel melaporkan kepada komandan Kompi I/II/III Kuranji Kapten Anwar Badu, bahwa besoknya tentara Sekutu akan menyerang Batu Busuak dan Padan Basi. Rencana Sekutu ini kemudian diteruskan ke Divisi Bukittinggi.
Terbukti tanggal 19 Juni 1946, sebanyak 49 truk berisikan pasukan Sekutu yang dilengkapi dengan kendaraan lapi waja, senjata berat, mortir dan meriam, sedang bergerak menuju Batu Busuk. Pasukan itu melewati Andaleh, Anduriang, Pasar Ambacang. Tujuan penyerangan ke Batu Busuak adalah karena ditempat ini para kaki tangan NICA ditahan. Barisan Sekutu ini berhasil membebaskan kaki tangannya itu. Setelah dari Batu Busuak pasukan Sekutu bergerak ke Padang Basi melalui Banda Buek dan Gaduik.
Ahmad Husein dari Indaruang di Padang Basi menggempur iringan pasukan Sekutu tersebut. Pertempuran pun berlangsung selama empat jam. Bantuan dari pasukan Letnan Arief Amien dan barisan rakyat pejuang dari Kampung Kalawi. Sekutu akhirnya mundur, namun di Banda Buek mereka dihadang oleh pasukan KaptenAnwar Badu dan Kapten Rajid.
Sebanyak 13 orang pejuang republik gugur dalam peristiwa itu dan dimakamkan di Markas Batalyon I Harimau Kuranji Padang Basi. Tanggal 26 Juni 1946, Sekutu sepertinya tidak menerima kekalahan itu walaupun telah menimbulkan korban di pihak republik, mereka bergerak menuju ke Padang Basi melalui Tanjung Saba dan Tarantang, dengan harapan jalur itu tidak dikuasai oleh pejuang. Sekutu ternyata keliru karena pasukan Kapten Rasyid masih bertahan disepanjang jalan menuju Padang Basi dari segala arah. Pertempuran pun terjadi selama enam jam. Pasukan Sekutu kembai dipukul mundur karena pejuang menyerang dari benteng-benteng Jepang (Jinci) yang tersembunyi disetiap sudut Padang Basi sehingga menyulitkan Sekutu untuk menghancurkannya. Dalam pertempuran itu Sersan Mayor Jamaluddin gugur bersama dua orang lainnya.
Monumen
tugu Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Pauh ini terletak dihalaman Kantor
KAN (Karapatan Adat Nagari) Pauh di Simpang Pasar Baru. Pembangunanya
direncanakan tanggal 3 Mei 1988 dan selesai untuk diresmikan tanggal 10
November 1989.