TUGU PADANG AREA / TUGU SIMPANG HARU
Peletakan batu pertama tugu dilakukan tanggal 17 Agustus 1990 oleh Gubernur Sumatra Barat Drs. H. Hasan Basri Durin dan selesai tahun 1992. Tugu ini terletak di segitiga Simpang Haru persimpangan Jl. Dr. Sotemo, Jl. Sisingamangaradja dan Andaleh. Pembangunannya ditujukan untuk mengenang pertempuran sengit yang pernah terjadi antara pejuang-pejuang kemerdekaan RI melawan tentara Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan, yang dikenal dengan Pertempuran Simpang Haru. Monumen Tugu ini semakin mempertegas indentitas Kota Padang sebagai Kota Perjuangan.
Simpang Haru dulunya merupakan daerah berbatasan langsung dengan luar Kota Padang yang dibatasi oleh aliran sungai. Dikawasan ini terdapat Stasiun Kereta Api Simpang Haru (Stasiun Padang) yang mulai dibangun tahun 1891 oleh bangsa Belanda. Disebabkan karena telah adanya peninggalan nenek moyangnya ini, sehingga pasukan Belanda yang datang dengan membonceng pasukan Sekutu menjadikan setiap tempat-tempat strategis sebagai basis pertahanan atau markas mereka. Simpang Haru akhirnya menjadi saksi sejarah terjadinya perebutan wilayah, titik balik penyerangan bagi pejuang untuk dan ke dalam kota, dan saksi ditempat ini pernah diserang oleh Pasukan Belanda.
Pemuda Indonesia oleh pasukan Sekutu, kondisi Kota Padang semakin panas dan ibarat api dalam sekam. BPPI bagi tentara Sekutu dianggap sebagai organisasi yang menghambat tugasnya setelah Jepang kalah perang, ditambah lagi provokasi tentara Belanda yang menghendaki agar supremasinya berlaku segera di kota ini. Keberhasilan BPPI yang tanggap dengan pengibaran pertama merah putih 21 Agustus 1945 BPPI dan sebelumnya tanggal 19 Agustus 1945 organisasi ini diresmikan, telah membuat Sekutu dan Belanda geram. Bersama kaki tangannya NICA, Sekutu lebih sering bertindak kejam dan semena-mena. Akibatnya pemuda-pemuda menjadi marah dan melakukan pembalasan. Simpang Haru pun berubah menjadi daerah yang benar-benar mengharukan dan memacu semangat juang para pejuang.
Relief Perjuangan yang terukir di Monumen Simpang Haru
Tanggal 4 November 1945, RAPWI (Rescue Allied Prissoner of War dan Interneers, organisiasi bentukan Sekutu untuk penyelamatan tawanan perang dan interniran yang sebelumnya ditawan Jepang) yang menempati Asrama Stadwacht di Simpang Haru menyerbu sekolah Sekolah Teknik yang letak keduanya berdekatan. Penyerbuaan RAPWI itu terjadi saat guru dan pelajar sedang dalam proses belajar mengajar. Pendidikan menjadi bagian awal pembenahan sumberdaya manusia setelah proklamasi di Kota Padang. Kedatangan RAPWI ini ternyata disertai oleh tentara NICA Belanda. Perkelahian kedua pihak pun tak terelakkan. Korban luka berjatuhan dikedua pihak. Namun setelah datangnya tentara Sekutu perkelahian jadi tidak seimbang. Banyak korban dipihak guru dan pelajar. Dua orang guru, Royan dan Said Rasad, sampai pingsan karena dikeroyok. Tujuan penyerangan ini karena RAPWI ingin menduduki lokal-lokal di Sekolah Teknik untuk dijadikan penampungan orangorang Belanda dan kaki tangannya yang bebas setelah ditawan sebelumnya oleh Jepang di Bangkinang. Jumlah mereka semakin banyak membanjiri Kota Padang sedangkan tempat penampungannya terbatas.
Akhirnya semua lokal bisa diduduki kecuali sebuah ruangan labor karena dipenuhi oleh alat-alat praktik teknik. Pelajar-pelajar yang melihat kejadian itu membalasnya dengan serangan malam harinya. Para pelajar itu dibantu oleh pemuda dari Andalas dan Parak Gadang sekolah. Penyerangan itu tidak menimbulkan korban jiwa atau luka-luka, namun esok harinya sekolah itu dipagari dengan kawat berduri, sedangkan guru dan pelajarnya diusir paksa dibawah ancaman sangkur terhunus. Hari itu juga Sekolah Teknik Simpang Simpang Haru pindah tempat ke Jl. Belantung (Jl. Sudirman sekarang) dengan memakai bangunan di gedung Pascara Sarjana IAIN sekarang. Ketika sedang mengangkut barang-barang sekolah itu sempat juga terjadi insiden kecil RAPWI dan NICA Belanda, sehingga seorang pelajar bernama Robinhood menderita luka arena tusukan bayonet.
Sekolah yang telah dikuasai kemudian dijadikan asrama oleh RAPWI dan NICA Belanda. Untuk merayakan karena mendapat asrama yang baru, malam harinya mereka mengadakan pesta dansa dan minum-minum sampai mabuk. Belum habis kemarahan setelah diusir dari sekolah mereka sendiri, ditambah dengan pemandangan yang menyesakkan dada ini, suatu malam tanggal 27 November 1945, asrama itu diserang dari segala penjuru oleh pejuang dibawah pimpinan Kapten Rasjid, atau sering dipanggil Rasjid Broneng. Penyerangan dilakukan dari empat jurusan. Dari arah Pasar Simpang Haru dipimpin oleh Sersan Mayor A. Rahman (dikenal dengan panggilan Rahmad Kompong), dari arah Andalas dimpimpin oleh Letnan Zubir, arah Lakuak Marapalm oleh Sersan Mayir Djamaloediin Abdullah, dan dari arah Parak Gadang oleh Letnan Satu Amran Usman. Serangan mendadak dan diluar dugaan itu menyebabkan orang-orang Belanda yang sedang berpesta kalang kabut dan tidak sempat mengambil senjata untuk melakukan perlawanan. Banyak korban tewas dipihak Belanda malam itu. Inilah serangan yang membuka mata tentara Inggeris yang datang keesokan harinya ketempat kejadian. Ternyata Kota Padang memang dipenuhi oleh penduduk berdarah pejuang. Inilah perang yang sesungguhnya, ujar tentara inggris itu.
Dalam serangan malam itu, tentara NICA yang berhasil meloloskan diri melaporkan kepada tentara Sekutu yang bermarkas di Jalan Belantoeng dan segera menuju ke tempat kejadian. Tapi begitu sampai, tempat itu sudah mulai sepi karena para pejuang sudah menghilang mengundurkan diri. Sekutu hanya mendapati korban-korban tewas bergelimpangan. Setelah kejadian itu, Sekutu mulai memasang pagar berduri atau disebut juga Pagar Kamp. Jalan-jalan di dalam kota dipasang kawar berduri, seperti jembatan antara Pulau Aia dan Muaro Padang, jalan depan Mesjid Batipuah, simpang empat Kampung Nias, simpang tiga Belakang Pondok (depan gedung Golkar/KNPI sekarang), jalan simpang Sungai Bong (depan Mesjid Murul Iman), simpang jalan Bioskop Cinema (Bioskop Karya sekarang), simpang jalan Bundo Kanduang sekarang, simpang tiga depan Museum Adityawarman sekarang, dan beberapa tempat lainnya. Pemagaran ini menandai ditetapkan jam malam oleh Sekutu mulai pukul 18.00 Wib sampai 06.00 Wib.
Pada tanggal 23 Maret 1946 asrama tentara Sekutu di Simpang Haru kembali digempur oleh Kapten Rajid bersama pasukannya. Penyerangan kali cukup membawa hasil yaitu tiga pucuk senjata karaben dan stenggun. Para pejuang berhasil masuk ke dalam asrama dan melemparkan granat. Banyak korban dipihak tentara Sekutu.
Pertempuran berikutnya terjadi di sepanjang Banda Bakali Simpang Haru, atau sekitar jembatan yang memisahkan Simpang Haru dengan Andaleh sekarang. Pertempuran itu terjadi pada tanggl 7-9 Juli 1946 dan berlangsung selama 72 jam atau lebih kurang tiga hari. Mayor Ahmad Husein menyusun strategi dan memimpin langsung penyerangan ini. Pasukan dari TRI (Tentara Republik Indonesia) bersama barisan rakyat menyerang pertahanan Sekutu di Simpang Haru ini sebagai balasan atas aksi-aksi Sekutu sebelumnya terhadap Kota Padang. Ahmad Husein menciptakan serangan bergantian dan berkelanjutan. Suatu pola yang tidak dipercayai oleh Sekutu akan ditemukannya di Kota Padang.
Pasukan pejuang datang dari Andaleh ke satu titik yaitu markas Sekutu yang berada diseberang Banda Bakali. Kompi III/Batalyon Kuranji dimpimpin oleh Letnan Satu Arif Amin membawa seksi pasukan Musa dan M. Rasjid, dan dibantu oleh Barisan Hizbullah (dibentuk tanggal 10 Oktober 1945) pimpinan Letnan Zubir. Kompi II/Batalyon Kuranji dipimpin oleh Kapten Rasjid dengan membawa pasukan seksi Bachtiar dan seksi Rahman yang dibantu oleh Barisan Lasymi (dibentuk tanggal 24 Desember 1945) pimpinan Letnan Munyar Atini. Serangan hari pertama pasukan seksi Rahan berhasil menyeberangi Banda Bakali dan masuk ke dalam kamp lalu melemparkan granat tangan.
Hari kedua pasukan yang dipimpin Letnan Satu Arif Amin digantikan oleh barisan Hizbullah yang dipimpin oleh Kompi Letnan Satu Muchtar dan Kompi Letnan Satu Mudhar Arsyad. Begitu juga dengan pasukan dari Lakuak digantikan oleh Kompi Anwar Badu. Kembali dalam serangan ini pasukan republik berhasil masuk ke kamp Sekutu dan melemparkan granat sehingga menewaskan banyak tentara Sekutu. Pada hari ketiga, kompi-kompi hari pertama kembali menggantikan posisi kompi hari kedua. Dihari ketiga ini pejuang dan barisan rakyat mendapat bantuan dari Kompi Istimewa pimpinan Sidi Tjoa dan Kompi Berani Mati pimpinan Djamaloeddin Wak Ketok. Pasukan bantuan ini sesuai dengan namanya dengan berani masuk ke dalam kamp Sekutu dan melemparkan granat yang banyak menewaskan pasukan Sekutu.
Selama tiga hari itu pasukan Sekutu hanya mampu bertahan dalam kamp saja, karena pada saat yang sama markas atau benteng pertahanan Sekutu di seluruh Kota Padang juga diserang oleh para pejuang. Sekutu di kamp Simpang Haru ini hanya bisa membalas dengan tembakan membabi buta. Tembakan mortir dan meriam mereka arahkan ke Analas, Anduriang, Parak karakah, Lubuk Bagauang, Alai dan Ampang, sehingga menyebabkan banyak rumah-rumah penduduk yang hancur dan terbakar.
Simpang Haru juga menyimpan kejadian lain dan telah jadi saksi sejarah beberapa peristiwa. Seperti ditemukaannya tewas tertembak seorang pegawai landraad (pengadilan) Kota Padang yang bernama Hamir Rachman pada tanggal 1 Agustus 194. Waktu itu Hamir Rachman akan membawa istrinya Saniar Anwar (kakak Jhonny Anwar) pergi ke Lakuak untuk pemeriksaan kandungannya ke seorang dukun beranak disana. Berita kematian ini baru diketahui oleh Jhonny Anwar setelah jasad kakak iparnya ditemukan sudah membusuk di dekat Surau Banda Bakali. Tanggal 4 Agustus 1946 rumah orang tua Jhonny Anwar di Simpang Haru dibakar oleh Sekutu. Pembakaran rumah itu menurut Sekutu adalah demi pertempuran karena menghalangi pandangan pasukan Sekutu di markasnya Sekolah Teknik untuk memantau kedatangan pejuang diseberang Banda Bakali.
Monumen
tugu ini melambangkan semangat juang yang bergelora ibarat kobaran api
yang menjulang ke angkasa dan tidak pernah padam. Tugu ini dirancang
oleh suatu tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ibenzani Usman.