TUGU PERINGATAN BAGINDO AZIZ CHAN
ugu yang berada di Simpang Kandih atau Simpang Lapai, sekarang disebut juga Simpang Tinju, dibangun tahun 1988. Beberapa tugu lainnya dibangunan sesudah itu. Rangkaian tugu ini dibangun untuk memperingati gugurnya Bagindo (Bgd.) Aziz Chan Walikota Padang ke-2 yang diangkat secara aklamasi pada tanggal 15 Agustus 1945, menggantikan Mr. Abubakar Djaar satu hari sebelumnya yang ditugaskan sebagai Residen Sumatera Timur. Kemudian gugur ditangan pasukan Belanda pada tanggal 19 Juli 1947. Simpang Kandih (dekat tiga persimpangan antara Lapai, Siteba dan Gunung Pangilun), adalah tempat penuh sejarah dan menjadi saksi bisu sepanjang zaman. Kepergiannya telah menjadi pendahuluan terjadinya Agresi Belanda Pertama, 21 Juli 1947.
Bgd. Aziz Chan lahir pada tanggal 30 September 1910 di Kampung Alang Laweh Kota Padang. Merupakan anak Bagindo (Bgd.) Montok dan Djamilah dari lima bersaudara, yaitu Bgd. Joesoef, Naimah Jahya, Nurlea, Bgd. Aziz Chan dan Moenir. Ayahnya seorang pegawai kereta api Stasiun Padang di Simpang Haru. Berasal dari Kurai Taji (Bgd. Montok) dan Sunur (Djamilah), keduanya sama-sama wilayah Pariaman. Karena pekerjaannya sebagai ambtenaar, anak-anak Bgd. Montok dapat mengikuti pendidikan di sekolahnya Belanda, seperti Bgd.Joesoef tamatan Eurepische School, Naimah Jahja masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Rakyat Negeri).
Kemudian melanjutkan ke Gadis School setelah sebelumnya tamat Adabiah School, Bgd. Boestamam di sekolah teknik. Walau bekerja sebagai pegawai Belanda (ambtenaar), keluarga ini tidaklah terlalu angkuh dan berlaku sombong. Sejak kecil ana-anaknya selalu didekatkan dengan kehidupan agama. Apalagi rumahnya yang di Alang Laweh berseberangan jalan dengan Surau Labuah (sekarang menjadi Mesjid Nurul Iman).
Bgd. Aziz Chan sendiri sekolah di HIS Padang dan tamat tahun 1926, lalu dilanjutkan dengan MULO dan tamat tahun 1929. Kemudian Bgd. Aziz Chan menyambung sekolahnya ke AMS di Jakarta, dimana saat itu Kota Jakarta adalah kota tempat beradanya para tokoh politik yang memiliki pemikiran perjuangan. Dari sinilah awalnya Bgd. Aziz Chan berkecimpung dan memulai pergaulannya yang kemudian menemukan jati dirinya sebagai anak bangsa yang sedang dijajah oleh bangsa asing. Pola pikir serta sikap anti penjajah Bgd. Aziz Chan berawa dari kedekatannya dengan H. Agoes Salim. Sama halnya dengan Mohd. Roem dan beberapa pemuda lainnya yang terlihat bergaya intelek barat namun kemudian tertarik dengan pemikiran H. Agoes Salim. Salah satu daya tarik H. Agoes Salim adalah kemampuannya menggabungkan kebenaran yang bersifat intelektual dengan kebenaran yang bersifat Islam ke dalam pemikiran-pemikiran perjuangan. Kedekatan inilah yang mewarnai kehidupan Bgd. Aziz Chan dikemudian hari. Seperti contoh, walau sekolah di AMS tapi penampilannya cenderung seperti santri yang memakai kopiah dan selalu membawa Al-Quran, bahkan dalam setiap suratnya diawali kalimat salam dan Basmallah.
Selama sekolah dan tinggal di Jakarta, Bgd. Aziz Chan secara tidak langsung telah berada dalam pusaran perkembangan politik pergerakan. Lahirnya Boedi Oetomo (...) semakin mengasah kesadaran terhadap diri sendiri, lingkungan sendiri dan kesadaran kebangsaan yang tengah berada dibawah kekuasaan bangsa lain. Kemudian disusul dengan lahirnya perkumpulan-perkumpulan pergerakan yang bersifat politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang semuanya bermuara kepada menentang penjajahan Belanda. Perkumpulan dimaksud seperti Serikat Dagang Islam (1905) kemudian menjadi Serikat Islam (1906), Indische Partij (1912), Partai Nasional Indonesia (1927), Muhammadiyah (1912) dan lain sebagainya.
Pertemuan diskusi selalu rutin dilakukan, awalnya terbuka dan diketahui umum kemudian menjadi rahasia karena Belanda mulai mencurigainya sebagai pergerakan nasionalisme, intelektual dan Islam. Bgd. Aziz Chan dalam setiap pertemuan itu dikenal sebagai pembicara yang penuh semangat walaupun terkadang sistematis dan agak sembrono karena sifatnya yang kurang sabar. Selama mengikuti sekolah di AMS tersebut Bgd. Aziz Chan bertemu dengan seorang gadis bernama Raden Ayu Entis Atisah, yang kemudian menjadi istrinya. Dalam masa sekolah di AMS itu juga, ayahnya meninggal dunia yang kemudian disusul oleh ibunya. Pergumulan bathin yang teramat kuat mendera dirinya dan menyebabkan Bgd. Aziz Chan dikemudian hari lebih pendiam namun ketika ia sudah bicara maka semangatnya berapi-api bahkan memborong waktu pembicaraan. Setelah tamat AMS, Bgd. Aziz Chan pulang ke Padang sebentar sambil melihat pusara orang tuanya karena ketika berita itu ia terima tidak bisa pulang karena faktar ekonomi.
Bgd. Aziz Chan kemudian kembali ke Jakarta meneruskan pendidikannya di RHS (Rechtshooge School), Sekolah Tinggi Hukum). Biaya untuk pendidikan ini berasal dari bantuan keluarga seperti pamanya Buyung Putih dan kakaknya Bgd. Joesoef. Namun sejak kedua orang tuanya meninggal, bantuan itu tidak mencukupi sehingga Bgd. Aziz Chan hanya bisa kuliah selama dua tahun (candidat II). Putus kuliah ini tidak menyebabkan ia pulang kampung tapi membantu Mr. Maramis dan Sulaiman Effendy mendirikan kantor pengacara serta lebih aktif dalam berbagai organisasi politik. Seperti pada tahun 1933 Bgd. Aziz Chan menjadi pengurus Jong Islamieten Bond dengan penasehatnya H. Agoes Salim. Sejak aktif dalam organisasi itu timbul keinginan Bgd. Aziz Chan kembali ke Sumatera Barat untuk melakukan pembaharuan Islam seperti yang telah dirintis oleh Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Amdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan Syekh M. Djamil Djambek. Sebelum keberangkatannya ke Sumatera Barat, Bgd. Aziz Chan meminang dan mengawini Raden Ayu Entis Atisah serta membawanya serta. Dari sini Bgd. Aziz Chan telah melakukan pemberontakan tradisi yang berlaku dalam adat istiadat Pariaman.
Saat itu di Sumatera Barat telah berdiri berbagai lembaga pendidikan, seperti Adabiah School yang dirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1908, Modern Islamische Swekschool di Bukittinggi oleh Syekh M. Djamil Djambek, Soematra Thawalib oleh Syekh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, Madras School oleh Muhammad Thaib Umar di Batusangkar, dan tahun 1915 Zainuddin Labai mendirikan Dinniyah School di Padang Panjang. Paham komunis pun mulai tumbuh dalam rentang waktu yang sama. Seperti tahun 1921 SI (Serikat Islam) pecah menjadi dua yaitu SI Putih kemudian menjadi PSII (Persatuan Serikat Islam Indonesia) dan SI Merah menjadi Serikat Rakyat. Lalu terjadi Perang Silungkang tahun 1926/1927 yang menyebabkan perubahan kehidupan berpolitik di Sumatera Barat.
Bgd. Aziz Chan berada di Sumatera Barat dalam kondisi yang demikian. Pilihan pertama Bgd. Aziz Chan adalah menerjunkan dirinya didunia pedidikan dengan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Bukittinggi yang dipimpin oleh Abdoel Gaffar Djambek. Tahun 1935 pindah ke Islamic Centre dan mendirikan Persatuan Pelajar Islam se-Kota Padang. Selama di Padang ini Bgd. Aziz Chan menyukai sepakbola lalu mendorong terbentuknya Perkumpulan Pemuda Pedjaka, membentuk lembaga pendidikan (Volks Universiteit).
Tahun 1940 Bgd. Aziz Chan pindah ke Koto Baru Batu Hampar Payakumbuh mengadakan kursus-kursus umum terhadap pemuda bersama H. Zainal dan Burhanuddin Nur. Tahun 1941 pindah ke Padang Panjang mengajar di MIM dan HIS Merapi. Tahun 1942 pindah lagi ke Pariaman untuk mengajar di Sekolah Darul Maarif yang didirikan H. Rasul Telur.
Pada masa kependudukan Jepang, Bgd. Aziz Chan merupakan anggota Badan Kebaktian Rakyat (Seikaigansu Hokokai) yang mengurus logistik.
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 situasi Kota Padang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sekutu datang untuk melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan dan menjaga keamanan pasca merdeka. Tapi para pemuda di Kota Padang terutama mereka yang pernah menjadi pasukan Jepang atau para tokoh pergerakan sudah mencium adanya kesepakatan tersembunyi antara tentara Sekutu dengan tentara Belanda. Salah satunya dengan datangnya rombongan orang Belanda yang selama ini ditawan oleh Jepang di Bangkinang semakin menguatkan dugaan bahwa Sekutu itu adalah Belanda. Walaupun tanpa indikasi itu, para pemuda di Kota Padang memang tidak menginginkan kehadiran bangsa asing setelah Indonesia Merdeka. Seperti kejadian di Teluk Bayur pada tanggal 13 Oktober 1945. Tentara Inggeris yang merapat disana menurunkan bendera merah putih dan menggantinya dengan bendera Inggeris. Hal itu hampir saja menimbulkan insiden, namun karena patuh kepada pimpinan Pemerintah RI bahwa kedatangan inggeris hanya untuk pengamanan maka dengan jiwa besar para pemuda terpaksa harus bersabar.
Kehadiran tentara Sekutu ternyata memang tidak menimbulkan rasa aman. Terlihatnya kehadiran orang-orang Belanda semakin menguatkan dugaan bahwa Belanda memang belum rela melepaskan daerah jajahannya. Aksi-aksi sporadis spontan berlangsung di setiap sudut Kota Padang. Sekutu yang merasa terganggu mulai melakukan penangkapan, penggrebekan, pembakaran, penyiksaan dan pembunuhan.
Dalam masa penyambutan kemerdekaan untuk meng-
galang kekuatan informasi di Padang dibentuklah BPPI (Balai Penerangan Pemuda Indonesia) tanggal 19 Agustus 1945. Suatu gerakan cepat dari pemuda Kota Padang dan Bgd. Aziz Chan terlibat didalamnya sebagai penghubung yang dipimpin oleh Ismael Lengah. BPPI ini kemudian dibubarkan tanggal 10 Oktober 1945. Para anggotanya BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan PRI (Pemuda Rakyat Indonesia). Bgd. Aziz Chan memilih masuk PRI agar dapat mengetahui setiap perkembangan situasi. Sebagai hasilnya, pada bulan November 1945 Bgd. Aziz Chan terpilih dalam rombongan utusan untuk menghadiri Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta.
proklamasi, bersama Ismael Lengah, Dt. Madjo Urang, Abdullah Kamil dan Aras Sutan Basa Bumi. Pada tanggal 23 Januari 1946 Bgd. Aziz Chan ditunjuk menjadi Wakil Walikota Padang mendampingi Abu Bakar Djaar disamping sebagai anggota KNI. Bgd. Sejak itu kiprahnya semakin dikenl disaat kota membara. Persoalan semakin banyak. Dimana saja keberadaan pasukan Sekutu selalu mendapat gempuran. Strategi serang dan menghilang setiap hari dialami. Pembalasan Sekutu sering tidak membuahkan hasil. Ketika akan melakukan pembalasan, Lokasinya sudah kosong. Sekutu beranggapan ketika berada di Kota Padang ia akan menghadapi perang terbuka. Justru sebaliknya ia berhadapan dengan kecerdikan pribumi yang menguasai setiap sudut wilayahnya.
Seperti tanggal 18 Juni 1946 Sekutu mengerahkan
seluruh armada tempurnya, seperti tank, panser, meria dan mortir, ditambah dengan 68 kendaraan. Mereka menggempur Batu Busuk, 20 km dari Kota Padang. Pasukan Sekutu ini dihadang oleh Kapten Rasjid dari Kompi III Batalyon Kuranji. Kemudian ditambah bantuan dari Kompi I Anduring yang dipimpin oleh Ahmad Husein dan Kompi II Lettu Arief Amin. Pertempuran sengit tak terelakkan yang berlangsung sejak pkl. 04.00 ââ¬â 16.00 Wib. Korban berjatuhan dikedua pihak. Inilah serangan awal Sekutu ke luar dari Kota Padang. Daerah Padang Besi Indarung menyusul satu minggu kemudian. Serangan demi serangan semakin gencar dilakukan Sekutu. Kondisi ini menambah beban pemerintah dan rakyat disamping beban moril dan materil lainnya. Tidak Kota Padang saja mengalaminya. Seluruh daerah di Indonesia bergelora menentang masuknya Inggeris dan sekutunya. Pada bulan Juni 1946 itu, Presiden mengumumkan negara dalam keadaan bahaya dan membentuk DPN (Dewan Pertahanan Negara) yang diketuai oleh Presiden Soekarno sendiri. Begitu juga di daerah dibentuk DPD (Dewan Pertahanan Daerah) yang diketuai oleh Residen. Disumatera Barat DPD dipimpin oleh Residen Dr. M. Jamil sebagai Ketua, Wakil Ketua Kolonel Dahlan Djambek.
Masyarakat Kota Padang terutama para pemudanya yang berjiwa pejuang sejak awal kedatangan Sekutu memang telah terpatri dalam dadanya tidak rela jika sejengkal tanahnya diinjak walau apapun alasannya. Baru saja DPD dibentuk, di akhir Juli 1946 konvoi Sekutu dari Tabing digranat dan ditembak, pos penjagaan Rumah Sakit Ganting di tembak, dan banyak kejadian lainnya. Sekutu lalu melakukan penggeledahan. Mr. Aboe Bakar Djaar sebagai Walikota Padang saat itu harus mensikapinya dengan tepat dan bijak dalam konteks tugas berat dan berbahaya. Apalagi Pemerintah RI di Jakarta telah menginstruksikan bahwa beberapa kota penting di Indonesia harus dipertahankan dan diperjuangan baik secara de jure maupun de facto. Termasuk Kota Padang, sehingga tidak ada pejuang yang tak merasa bangga karena perhatian pemerintah pusat ini. Namun disaat Kota Padang sedang penuh dengan perseteruan dengan tentara Sekutu itu, keluar perintah dari Gubernur Sumatera T. Moh. Hassan bahwa Mr. Aboe Bakar Djaar harus dipindahkan sebagai Residen ke Sumatera Timur yaitu di Tebing Tinggi. Perintah mendadak ini tentu menimbulkan kekosongan posisi walikota, sedangkan instruksi dari pemerintah pusat adalah jangan sampai ada kekosongan kekuasaan di republik ini.
Menanggapi hal ini, DPD dan Dewan Pemerintah Daerah Sumatera Barat di Bukittinggi mengadakan rapat untuk membicarakan penggantian Walikota Padang ini. Pembicaraan cukup alot karena mencari orang yang berani, cerdas, dan bijaksana serta mau menghadapi bahaya dan kelicikan Sekutu jelas bukan pekerjaan mudah. Terkadang terdengar bisik riuh lalu diam kembali. Untuk mengajukan diri sebagai walikota saat itu bukanlah kebanggaan dan kemenangan. Kota ini tidak saja butuh pemimpin yang berani tapi juga pemimpin mampu menghadapi segala kemungkinan, nyawa taruhannya.
Kolonel Ismael Lengah dalam satu kesempatan mengadakan pembicaraan serius dengan Bgd. Aziz Chan. Kepada Bgd. Aziz Chan disampaikan jika kepemimpinan terlalu lama kosong maka Sekutu akan semakin merajalela, Belanda akan gencar meluaskan kembali kekuasaannya dengan segala akal liciknya, terutama sekali rakyat akan kehilangan panutan dan tempat berlindung. Disamping itu Residen Sumatera Barat Mr. S.M. Rasjid secara khusus berkeinginan agar jabatan walikota Padang dipegang oleh Bgd. Aziz Chan.
Akan halnya Bgd. Aziz Chan yang melihat mengarahnya pilihan kepada dirinya tidak menampik dan menolak sedikitpun. Dirinya merasa terpanggil untuk tugas amat berat itu. Sebagai orang Minang pantang baginya negerinya dijajah bangsa asing. Sebagai orang Islam, baginya perjuangan ini adalah perang melawan ketidakadilan. Setelah terdiam sejenak, lalu dengan ucapan Bismillah amanat itu diterimanya.
Tanggal 15 Agustus 1946, dibulan puasa dan bertepatan dengan turunnya Al-Quran 17 Ramadhan, Bgd. Aziz Chan diangkat sebagai Walikota Padang ke-2, dan besoknya diminta ke Padang untuk menjalankan tugas kewalkotaannya serta merayakan satu tahun kemerdekaan RI di Kota Padang. Pada hari pengangkatan di Bukittinggi itu, di Padang, tentara Sekutu semakin berani menangkap Residen Mr. St. M. Rasjid, Mr. Harun Al Rasjid dan Jhonny Anwar. Bgd. Aziz Chan dengan niat karena Allah telah menempatkan dirinya sebagai kepala pemerintahan RI di Kota Padang. Hari-hari berikutnya adalah harihari Bgd. Aziz Chan menghadapi tindakan ganas di luar hukum dari tentara Sekutu, Nica dan kaki tangannya.
Kota Padang pada masa kewalikotaan Bgd. Aziz Chan adalah kota yang sepi dari penduduknya. Kota Padang sepertinya dikepung oleh para pejuang yang hanya bisa menganggu kedudukan pasukan Sekutu dalam kota. Pertempuran demi pertempuran terjadi tiada hentinya. Setiap sudut berubah men jadi front pertempuran. Para pemuda ditangkap tanpa diselidiki kesalahannya. Rumah penjara Muaro sudah tidak sanggup lagi menampung mereka. Para penduduk lebih banyak mengungsi ke luar kota seperti Bukittinggi, Padang Panjang, Solok dan Batusangkar. Padang ibarat kota mati. Justru keadaan inilah yang diinginkan tentara Sekutu. Dimana-mana mereka dengan pakaian hijau dan loreng bebas berkeliaran. Polisi Nica yang direkrut dari orang Indonesia seperti dari Ambon mula menampakkan dirinya dengan pakaian sedikit kekuningan sambil menyandang senjata. Sedangkan kepolisian Kota Padang hanya menggunakan pakaian yang beraneka ragam, umumnya masih dengan pakaian Jepang termasuk tanda kepangkatannya. Penanda Polisi Kota Padang saat itu adalah topi pet dengan lencana merah putih diatasnya.
Kantor-kantor pemerintahan di Kota Padang sudah banyak yang pindah ke Bukittinggi. Kantor yang masih bertahan adalah kantor walikota Padang, kantor pos, kantor telepon dan Kantor Besar Polisi Kota Padang. Itupun dengan pegawai yang sangat terbatas., menerima gaji kecil dan bahkan pembayaran yang tidak menentu. Sedangkan tugas sebagai aparatur pemerintahan sangatlah berat. Hanya semangat republiken yang membuat mereka bertahan. Disinilah terlihat kebersamaan dan senasib sepenanggungan. Para aparat itu mendapat bantuan dari para pedagang di Pasa Jao atau rumah potong hewan di Sawahan. Bantuan itu diberikan menurut kesanggupan mereka. Pedagang toko daging memberikan daging, penjual sayur membantu dengan sayur, penjual ikan dengan ikannya, penjual beras memberikan beras, bahkan ada juga yang memberikan uang. Bgd. Aziz Chan dikenal juga dengan pribadi yang berani, tidak takut apapun kecuali kepada Allah Swt. Terbukti pada satu hari sesudah pelantikannya. Ia melakukan kunjungan resmi ke Markas Besar Sekutu bersama Gubernur Muda Sumatera Tengah Dr. M. Djamil, dari kepolisian RI Azhari. Dimarkas itu telah menanti Brigadir Thomson Mayor Fischer dan Kapten Gilman. Pembicaraan kedua pihak berkaitan dengan kerja sama untuk menanggulangi masalah keamanan yang semakin gawat, dan langkah teknis perkeretapian dan lalu lintas pos. Dalam kesempatan itu, Bgd. Aziz Chan menyampaikan akan mengadakan peringatan satu tahun Indonesia merdeka, tapi dilarang oleh Brigadir Thomson karena takut akan terjadi insiden-insiden. Tapi bukan Bgd. Aziz Chan namanya jika harus patuh kepada bangsa asing penjajah itu. Begitu sampai dikantornya, Bgd. Aziz Chan langsung mengambil keputusan, yaitu; melakukan upacara bendera Peringatan Satu Tahun Indonesia Merdeka seara indoor (tertutup) bersama pegawai-pegawainya, dan pembuatan tugu Satu Tahun Kemerdekaan RI dihalaman Kantor KNI Sumatera Barat, Jl. Rumah Bola No. 1. Dalam acara itu tanpa ragu-ragu Bgd. Aziz Chan meletakkan batu pertama, dan besoknya tanggal 17 Agustus 1946 selesailah tugu kecil itu.
Tindakan lain Bgd. Aziz Chan adalah menerbitkan surat kabar RI ââ¬ÅTjahaja Padangââ¬Â untuk memberikan informasi sekitar perkembangan RI bagi penduduk. Penerbitan ini semata-mata untuk mengimbangi gencarnya propaganda Sekutu melalui Nicanya melalui koran ââ¬ÅPadang Bodeââ¬Â dan ââ¬ÅHarian Peneranganââ¬Â. Bgd. Aziz Chan juga membuka kembali sebuah SMP, namun muridnya Cuma empat orang, gurunya juga empat orang yaitu Encik Djosair (kepala sekolah), Mr. Egon Hakim, Dr. Rumawi dan Said Rasad. Lalu lintas kereta api dari Padang ke luar kota dibuka kembali. Pabrik tenun walaupun berada di wilayah Sekutu kembali beroperasi. Segenap usaha dilakukan oleh Bgd. Aziz Chan tapi Kota Padang masih saja lengang. Belum lagi mendatangkan hasil, Sekutu sudah melakukan tindakan semena-mena. Sekutu menguasai dan menduduki secara paksa Kantor Urusan Bahasa Asing milik RI di Muaro dan beberapa toko disekitarnya. Sekutu menangkap dua orang pegawai residen yaitu Abdoel Latif dan Zainuddin Sutan Sinaro. Tanggal 23 Agustus 1946 Sekutu melakukan operasi miiter dengan menghancurkan pertahanan pejuang di Gunung Pangilun. Walaupun Kota Padang sepi dan seorang walikota mereka masih bertahan, setiap pejuang dan penduduk yang men gungsi selalu mendapat informasi perkembangannya. Ketika mendengar Sekutu telah bertindak diluar batas, para pejuang melakukan serangan mendadak diseluruh kota pada tanggal 28 Agustus 1946. Pertahanan Sekutu di Tabing, Simpang Haru dan Teluk Bayur diserbu secara gerilya. Sekutu pun membalas dengan membakar rumah-rumah penduduk di Tabing dan Simpang Haru. Besoknya lagi truk Sekutu dihujani granat. Sementara itu para tawanan Sekutu di Muaro Padang melarikan diri, mereka adalah pejuang gerilya dan anggota TRI.
Sekutu melampiaskan kemarahannya dengan penggeledahan kerumah-rumah penduduk. Seluruh penduduk laki-laki ditangkap dan dijemur di Padang Pasir, Lapangan Dipo dan Muaro Padang, jumlahnya 700 orang. Penangkapan itu membuat Bgd. Aziz Chan dan Jhony Anwar sebagai Kepala Polisi kota tersinggung dan marah. Sebagai walikota yang baru, ia harus segera membebaskan penduduk yang ditangkap dibawah hidungnya. Dengan perasaan tertekan dan marah Bgd. Aziz Chan didepan penduduk yang dijemur dan tentara Sekutu mengatakan,ââ¬Â Bila saudara-saudara tak dilepaskan kembali, maka saya sendiri tidak akan meninggalkan saudara-saudara. Saya juga turut serta bersama saudara-saudara!ââ¬Â. Akhirnya mereka semua dibawa ke markas Sekutu. Setelah melalui perdebatan dan negosiasi yang rumit, akhirnya pukul 16.00 Wib setelah sejak pukul 08.00 Wib dijemur, semuanya dibebaskan. Itulah hari pertama penduduk Kota Padang mengenal dari dekat walikotanya yang baru.
Keadaan semakin gawat ketika ditariknya tentara Inggeris dan India dari Indonesia tanggal 30 November 1946, sedangkan tentara Belanda dengan Nicanya tidak. Sejak itu Belanda semakin meluaskan wilayahnya dengan pengerahan armada dan pasukan tempur yang kuat dan banyak. Belanda mulai mendirikan pos-pos tentara dan secara intensif melakukan penyerangan ke luar kota.
Bgd. Aziz Chan besama polisi Jhony Anwar harus menghadapi tantangan yang berat. Harus bisa menempatkan diri sebagai aparatur, pimpinan, dan pejuang, termasuk memposisikan kebijakan terhadap invasi Belanda. Bgd. Aziz Chan berupaya mendapatkan beras dan sayur mayur dari luar kota karena pinggiran kota dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Pendudukan embutuhkan makanan yang sudah dicari. Sekutu juga perlu dipenuhi kebutuhannya sesuai dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Keuangan juga harus disediakan untuk membayar gaji pegawai dan gerilyawan yang menjadi tanggungan pemerintah kota.
Pada tanggal 10 November 1946 terbentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat) secara spontan. Anggotanya adalah pemuda-pemuda los lambuang yang dipimpin oleh Rasa Kari dan Nurmatias. Para anggota BKR ini siangnya menjadi polisi dengan tanda pengenal resmi dan malam hari melakukan serangan gerilya dalam kota. BKR spontan ini pada akhirnya diakui sebagai cabang Divisi Banteng oleh Kolonel Ismael Lengah. Didalam kota juga terdapat barisan gerilya yang selalu mengganggu keberadaan Belanda, yaitu Pasukan Himuin (Hidup Mati Untuk Indonesia) pimpinan Sjofjan Klene. Pasukan ini kemudian terkenal dengan nama Tentara Semut. Pasukan-pasukan seperti ini atas kebijakan Bgd. Aziz Chan dibiayai. Mereka secara sembunyi datang kerumah Bgd. Aziz Chan di Belakang Olo. Didalam rumah itu mereka berbincang saling tukar informasi, makan, dan tidur. Keadaan seperti inilah yang disukai oleh Bgd. Aziz Chan, sebab dengan cara membaur inilah ia ikut merasakan penderitaan sebagai bangsa yang dijajah kembali. Bgd. Aziz Chan juga termasuk sosok yang peduli dengan orang lain. Rela dan berani memperjuangkan nasib pejuang-pejuang yang tersandung masalah dengan tentara Belanda.
Seperti pada tanggal 6 September 1946, Bgd. Aziz Chan menerima surat dari Sekutu yang memberitahukan telah dipenjarakannya beberapa pemuda dan akan disidang, serta menanyakan apakah mereka yang dipenjara itu akan didampingi oleh hakim pembela. Surat tersebut dijawab dengan tegas bahwa ia tidak mengizinkan tahanan itu untuk diadili apalagi akan did ampingi pembela, karena seharusnya perkara itu disidangkan pengadilan Indonesia. Surat balasan itu mencerminkan ketegasan, harga diri dan keberanian seorang walikota masa itu. Kejadian tanggal 24 September 1946 semakin menunjukkan siapa sebenarnya Bgd. Aziz Chan. Waktu itu tentara Nica Belanda yag sebelumnya masih bernaung dibawah tentara Sekutu, sekarang mereka sudah berani menyerobot dan merebut rumah-rumah penduduk di Parak Karambia, Ujung Pandan, Olo dan Kampung Jao. Pemilik rumah diusir karena rumah itu akan mereka tempati. Tindakan semena-mena ini membuat Bgd. Aziz Chan marah, dan segera mengirimkan surat protesnya. Isinya surat itu menyatakan; meminta kepada Sekutu dan Belanda untuk memberikan keterangan terhaap tindakan itu, mengutuk tindakan yang tidak berprikemanusian dan tidak tahu aturan, dan meminta mengembalikan segera rumah yang direbut tersebut sebab Tuhan Yang Maha Kuasa akan menghancurkan sekalian yang tidak adil.
Surat itu ternyata tidak ditanggapi oleh Belanda. Malam harinya Parak Karambia dan Ujung Pandan diserang oleh pasukan gerilya. Besoknya Sekutu melakukan serangan balasan. Seluruh kota dan luar kota di bom dari udara. Andaleh dan Simpang Haru di serbu Belanda dan Sekutu. Sebuah pertempuran sengit terjadi di jembatan Andaleh.
Beberapa hari kemudian di Parak Karambia Belanda menangkap seorang polisi, Zainal, tanpa sebab. Tentua saja Jhony Anwar memprotes, kenapa seorang penjaga keamanan ditangkap oleh penjaga keamanan. Dalam butiran perjanjian sebelumnya disepakati bahwa pihak republik di Kota Padang dengan pasukan Sekutu adalah dua pihak yang akan sama-sama menjaga keamanan. Kembali protes itu tidak ditanggapi oleh Belanda. Malahan pasukan Nica semakin meningkatkan intervensinya. Kekuatan Nica justru semakin kuat.
Keadaan dalam kota semakin tidak menentu dan memanas. Aksi gerilya dalam kota sering terjadi. Aksi saling balas dan aksi kucing-kucingan terjadi. Sebuah gudang makanan RI dikepung tentara Sekutu. Seorang pejuang, Mauncu Kahar dan Maaruf ditangkap. Besoknya, seorang tentara Sekutu yang sedang jalan-jalan di Terandam disergap pemuda dan dilucuti senjatanya. Terandam kemudian digeledah, delapan orang pemuda mereka tangkap. Ditempat lain, di Koto Marapak dua orang pemuda disekap Sekutu. Markas Belanda di Parak Karambia dan Ujung Pandan diserang pejuang gerilya malam hari. Siangnya Nica melakukan penggeledahan, hasilnya dua orang pemuda berhasil mereka ciduk di Belakang Tangsi.
Melihat semakin meningkatnya kegiatan gerilyawan dalam kota, Sekutu pun mengeluarkan peraturan jam malam yang lebih keras. Siapa yang melanggar akan ditembak. Bgd. Aziz Chan bersama polisi Jhonny Anwar menyampaikan protes keras, tapi tidak ditanggapi.
Tanggal 23 Oktober 1946 Bgd. Aziz Chan kembali melayangkan surat kepada Brigadir Thomson (Sekutu) sehubungan penangkapan-penangkapan oleh pasukan Belanda itu. Isi surat itu antara berbunyi bahwa saya nasehatkan dan mendesak untuk melepaskan bangsa Indonesia yang telah ditangkap tentara Belanda. Jika tidak dilepaskan maka keamanan yang kita sepakati pasti akan terganggu. Surat itu membuat Belanda tersinggung dan merasa didiskreditkan. Bgd. Aziz Chan secara nyata telah menunjukkan posisinya yang menentang kehadiran Sekutu dan Belanda di Kota Padang ini.
Tanggal 28 November 1946, Sekutu menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Dalam masa transisi itu segala kemungkin bisa saja terjadi. Beberapa langkah strategis segera dilakukan, antara lain pembentukan Barisan Polisi Istimewa (kemudian menjadi Mobrig dan terakhir Brimob) di Bukittinggi , pembentukan Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, dan partai-partai politik membentuk Badan Pembantu Garis Depan. Di Kota Padang sendiri semakin panas dan eksplosif. Pertempuran sengit terjadi dalam menghadapi perluasan daerah oleh pasukan Nica.
Tanggal 2 Desember 1946 terjadi pertemmpuran di Front Utara dan Selatan Kota Padang. Dua ranjau darat di jembatan Ulak Karang (menewaskan 15 orang) dan Seberang Padang (menewaskan 12 orang) meledak yang menghancurkan kendaraan militer Belanda. Tanggal 7 Desember 1946 pertempuran terjadi lagi di Tabing bagian selatan. Pesawat capung Belanda melayang-layang mengintai basis pertahanan pejuang di luar kota.
Sementara itu rombongan Menteri Pertahanan RI, Mr. Amir Sjarifuddin yang datang dari Medan sedang bertolak ke Padang sehubungan akan dilakukannya genjatan senjata. Ketika rombongan memasuki Kota Padang, letusan-letusan pertempuran sedang berlangsung. Besoknya 9 Desember 1946 perundingan pertama genjatan senjata dilaksanakan di Kantor Pemerintah Kota (eks Balaikot sekarang). Perundingan kedua dilanjutkan tanggal 11 Desember 1946. Isi perundingan antara lain, daerah sekeliling Kota Padang akan dikosongkan, pos-pos tentara Belanda yang bertambah akan dicabut, penghentian tembak menembak, dan polisi RI berhak mengadakan mobilitas di daerah tentara Belanda. Ternyata Belanda selalu mencari alasan dan sepertinya sengaja untuk tidak mentaati isi perundingan tersebut. Bahkan ranjau darat yang dipasang gerilyawan dibongkar Belada dan malah menuduh Bgd. Aziz Chan sebagai otak dalam pemasangan ranjau tersebut.
Sikap Belanda yang demikian membuat para pejuang melakukan gerakan penghancuran. Tanggal 23 Desember 1946 sebuah tank Belanda hancur dan lima orang tentaranya tewas. Kejadian itu berlangsung lagi di Seberang Padang.
Memasuki tahun 1947 keadaan Kota Padang semakin tidak membaik. Belanda hampir setiap hari memuntahkan mortir-mortirnya ke arah luar kota. Penggeledahan dan penangkapan dilakukan lagi dalam kota. Tanggal 3 dan 4 Januari 1947 pertempuran meletus di Kampung Durian dan beberapa daerah di Front Timur. Dalam hari itu juga kereta api yang sedang melintas di air tawar ditembak Belanda. Sebanyak 22 orang penduduk sipil yang akan mengungsi meninggal dalam serangan itu.
Tanggal 25 Maret 1947 ditandatanganinya Perjanjian Linggajati berarti akan tercipta hubungan baru yang diharapkan selama ini. Pada tanggal 8 April 1947 dilakukan pertemuan dengan Belanda. Dari pihak RI dihadiri Mr.St.M. Rasjid, (Residen), Kol. Ismael Lengah (Komandan Divisi Banteng), Iskandar Tejakusuma dan Bgd. Aziz Chan.. Dari pihak Belanda Dr. Van Straten (Residen Tijdelijk Bestuur), Kol. JW. Sluyter, Mayor Donk. Kedua pihak sama-sama diiringi oleh beberapa orang pendamping. Pada kesempatan ini, Belanda ternyata bersikap manis dan menunjukan maksud baiknya. Rombongan RI mereka jemput ke batas demarkasi di Tabing lalu diiringi masuk kota. Perundingan dilakukan di Kantor Pemerintah Kota Padang sampai besok harinya. Melihat hal itu pendudukan pun kembali masuk kota. Tanggal 11 April 1947 ibukota Sumatra Barat dipindahkan kembali ke Kota Padang diawali dengan rombongan 100 orang pegawai. Hari itu juga dikeluarkan uang Urips sebagai mata uang resmi RI. Tanggal 20 April 1947 dikeluarkan pengumuman bahwa pengembalian pengungsi ke kota menjadi perhatian yang utama dari pemerintah. Penduduk yang menyampaikan surat bukti kepemilikan rumah akan mendapatkan rumahnya lagi. Tapi tidak semuanya demikian karena ada beberapa diantaranya yang dipakai belanda. Tanggal 21 April 1947 lalu lintas kereta api ke Kota Padang diresmikan oleh residen. Bgd. Aziz Chan kemudian menerima kawat ucapan selamat dari Menteri Penerangan RI, M. Natsir.
Ternyata Belanda hanya bermulut manis dan bermuka dua. Belanda kembali melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan perjanjian Linggajati. Kepala Polisi Kota Jhonny Anwar dan beberapa orang tahanan ditangkap oleh Polisi Militer Belanda. Kemudian dibebaskan oleh Mr. St. M. Rasjid. Tanggal 17 Mei 1947 Jhony Anwar digertakan dengan senjata oleh seorang tentara Belanda yang sedang mabuk. Jhony Anwar yang dibawa dengan Jeep dihadap oleh pemuda dan mobil jeep itu dilempari dengan kelapa. Atas peristiwa ini Kol. Sluyter meminta maaf. Beberapa hari sebelum Jhonny Anwar di hadang tersebut, tepatnya tanggal 8 Mei 1947 meriam Belanda memuntahkan pelurunya ke luar kota dari pagi sampai sore. Tanggal 9 Mei 1947 beberapa pos jaga polisi RI diduduki Belanda secara paksa. 13 Mei 1947 pabrik soda di Mata Aia diserobot. 17 Mei 1947 penduduk Kampung Jao dilarang mengibarkan bendera merah putih. Bd. Aziz Chan menggagas setiap tanggal 17 setiap bulannya adalah hari penaikan bendera merah putih. Bahkan dalam suatu perundingan tanggal 19 Juni 1947 antara Mr. St. M. Rasjid dengan Dr. Van Straten, pihak Belanda bersikerasi bahwa Polisi RI tidak perlu pakai senjata. Secara diam-diam dan tak langsung Belanda telah merobek-robek isi Perjanjian Linggajati.
Kegawatan sedang menuju titik didih. Barisan Polisi Istimewa secara ditarik lagi ke Bukittinggi dan ibukota dipindahkan lagi ke Bukittinggi. Sebuah laporan rahasia memberitakan bahwa sejumlah tokoh RI di Padang akan ditangkap oleh Belanda. Menanggapi informasi ini, Bgd. Aziz Chan, Jhonny Anwar dan beberapa orang lainnya menolak ke Bukittinggi.
Akibat keputusan bertahan di dalam kota itu, sebulan kemudian, 19 Juli 1947, tersiar kabar bahw Bgd. Aziz Chan tewas terbunuh. Berita itu disampaikan melalui telepon interlokal oleh Jhonny Anwar kepada Residen RI Mr. St. M Rasjid.
Istri Bgd. Aziz Chan, Entis Atisah beserta anak-anaknya di Padang Panjang yang menerima kabar itu histeris dan hanya bisa menangis. Buya Hamka yang pulang sholat tarawih, karena hari itu adalah hari kedua masuknya bulan Ramadhan, mengetahuinya karena singgah ke rumah Entis yang sedang berduka. Mr. St. M. Rasjid segera melakukan pertemuan kilat dirumahnya di Guguak Malintang. Rapat kilat dihadiri oleh Chatib Sulaiman, Djuir Muhammad, Marzuki Jatin (Wakil Ketua KNI Sumatra Barat), H. Nasruddin Tah, Mayor Abdoel Thalib, Djamalus Jahja (suami kakak Bgd. Aziz Chan, Naimah Yahya), Hamka, Abdullah Sani dan Dr. A. Rahim Usman (kakak istri muda Bgd.
Aziz Chan, Siti Zaura Usaman. Hasil keputusan rapat itu adalah jenazah Bgd. Aziz Chan harus dijemput ke Padang. Yang ikut dalam rapat kilat ini besoknya sesudah sahur dan sholat subuh di rumah Mr. St. M. Rasjid berangkat ke Padang. Sampai di Tabing rombongan tidak bisa langsung masuk kota karena harus mendapa izin dari markas besar.
Hamka menggambarkan sikap pengawal batas demarkasi itu tidak bersahabat, bermusuhan, dan pancaran matanya berapi-api penuh kebendian kepada rombongan. Setelah mendapat izin tidak pula semua orang bisa masuk kota. Akhirnya melalui perdebatan yang cukup sengit dan demi pertimbangan keselamatan karena Belanda sebelumnya mengeluarkan pengumuman akan menangkap setiap tokoh yang berada atau masuk ke dalam kota tanpa izin. Ikut dalam rombongan itu adalah Marzuki Jatin (ketua rombongan), Hamka, Jamalus Jahja, Dr. A. Rahim Usman, Nasharuddin Thaha, M. Arif, dan TA.
Sani. Yang lainnya tidak ikut dengan alasan keamanan.
Rombongan kemudian masuk kota dengan mengendarai jeep Belanda. Rombongan dijaga ketat. Moncong senjata diarahkan kepada rombongan dari muka dan belakang. Sepanjang perjalanan terlihat pasukan Belanda menjaga ketat Kota Padang dan berada dalam posisi siap tempur. Setiap sepuluh meter terdapat pasukan Belanda. Memasuki dalam kota, terlihat ratusan penduduk tumpah ruah di jalan dengan wajah sedih, menangis dan takut. Begitu juga setelah sampai di rumah duka Belakang Olo, kerumunan orang penuh sesak dengan wajah sedih tidak terkira. Rumah itu juga dikawal oleh puluhan tentara Belanda bersenjata lengkap. Tumpah ruahnya penduduk di rumah duka itu melukiskan betapa dekatnya Bgd. Aziz Chan dengan warganya.
Belanda sendiri sengaja menempatkan personilnya cukup banyak untuk berjaga-jaga jika terjadinya kerusuhan akibat kematian Bgd. Aziz Chan. Bahkan disaat berduka itupun Belanda menangkap penduduk laki-laki dan menahannya di Penjara Muaro Padang.
Untuk pemakaman Bgd. Aziz Chan pihak keluarga telah mempersiapkannya di Perkuburan Kasiak Angek, berdekatan dengan Pantai Padang. Namun pemerintah menghendaki di Taman Bahagia Bukittinggi sebagai seorang pahlawan, disamping kondisi Padang yang memanas akibatnya gugurnya Bgd. Aziz Chan ini.
Setelah disepakati akhirnya jenazah Bgd. Aziz Chan dibawa ke Bukittinggi. Awalnya Letkol Van Erp enggan untuk memberi izin, namun setelah mempertimbangkan tidak ada ada gunanya menahan lebih lama, rombongan diizinkan berangkat. Rombongan berangkat pukul 14.00 Wib dari Belakang Olo, tapi tertahan lagi oleh pos pengawal Belanda di Stasiun Kereta Api Tabing. Akibatnya menjelang malam rombongan bisa berangkat dengan menggunakan kereta api dari stasiun ini.
Di Bukittinggi, para tokoh menduga kematian Bgd. Aziz Chan disebabkan oleh unsur kesengajaan. Belanda selalu melanggar kesepakatan dan tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Untuk menepis dugaan tersebut di rumah Jamalus Jahja dekat stasiun dilakukan pemeriksaan jenazah (visum et repertum). Tim dokter yang memeriksa adalah Dr. Jusuf, Dr.
Auskarani, Dr. Rivai, Dr. Thomas Jusuf dan Dr. Roesma. Hasilnya membuat mereka terkejut. Penyebab kematian adalah pukulan beberapa kali dengan benda keras dibagian belakang dekat telingga kanan. Untuk mengelabui dan menghilang jejak maka setelah meninggal ditembak, sehingga dugaan kematian Bgd. Aziz Chan karena tembakan.
Kejadian itu berawal pada tanggal 16 Juli 1947. Bgd Aziz Chan dua hari sebelumnya di Bukittinggi melaporkan perkembangan situasi Kota Padang kepada Dewan Eksekutif Sumatera Barat di Bukittinggi. Setelah memberikan laporan langsung ke Padang Panjang menemui istri pertamanya. Dalam perjalanannya menuju Padang, di Arang Parahu, kendaraan Bgd. Aziz Chan dihadang oleh seorang pejuang Mak Uniang Rasjidin yang
menginformasikan bahwa saat ini jaringan Nefis (polisi rahasia Belanda) sedang mempersiapkan pengkapan-penangkapan terhadap tokoh republik yang berada dalam kota. Kepada Bgd. Aziz Chan diharapkan untuk kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Bgd. Aziz Chan bukannya tidak mengetahui situasi demikian, namun karena ada kewajiban lain yaitu ia harus mengungsikan istri mudanya Sitti Zaura Usman yang sedang hamil dan saat ini sedang berada di rumahnya di Belakang Olo. Ia kemudian mengirimkan surat melalui kurir agar istrinya segera berangkat ke luar kota. Sitti Zaura Usman begitu menerima surat segera berkemas-kemas dan dengan mobil pompa segera berangkat. Namun di dekat Jembatan Purus mobil ini ditahan penjaga pos Belanda dan tidak diizinkan keluar kota. Bgd. Aziz Chan yang sedang menunggu merasa kesal tapi tetap bersabar, dan menginap satu malam di Arang Parahu itu.
Besoknya tanggal 17 Juli 1947, Bgd. Aziz Chan memutuskan masuk kota karena tidak menerima kabar dari istrinya, dan ia juga akan melakukan peringatan kemerdekaan RI setiap tanggal 17 setiap bulannya. Begitu sampai di kota tidak terjadi apa-apa. Setelah menemui istrinya, Bgd. Aziz Chan bersama Jhonny Anwar dan A. Razak Usman mengadakan upacara peringatan 17 di Merdeka Theatre (Bioskop Raya sekarang). Upacara dihadiri warga Kota Padang berlangsung penuh hikmat.
Tanggal 19 Juli 1947, hari Sabtu, Bgd. Aziz Chan setiap Sabtu selalu keluar meninggalkan Kota Padang untuk urusan negera dan berkunjung ke Padang Panjang. Hari itu pada pukul 15.00 Wib, Bgd.Aziz Chan berangkat dengan mobilnya, turut bersamanya istrinya Sitti Zaura Usman, Siti Fatimah Usman, A. Razak Usman (saudara istrinya), A. Marzuki dan seorang lainnya. Kendaraan ternyata bisa melewati Jembatan Purus tanpa hambatan. Tapi ketika sampai Jembatan Ulak Karang, kendaraan itu ditahan pengawal pos Belanda. Tak berapa kemudian datanglah mobil Van Erp (komandan tentara Belanda di Kota Padang). Van Erp mengatakan bahwa tak jauh dari sini, yaitu di Lapai telah terjadi indisiden yang dilakukan ekstrimis-ekstrimis Indonesia. Bgd. Aziz Chan sebagai Walikota Padang dan Ketua Panitia Pelaksana Keputusan Bersama RI-Belanda di Padang) diminta untuk meredakan kekacauan yang terjadi di Lapai tersebut.Bgd. Aziz Chan bersedia dan segera menaiki jeep militer Van Erp. Rombongan yang lain diminta Bgd. Aziz Chan untuk menunggu sebentar dan tidak perlu ditemani. Diatas mobil jeep Bgd. Aziz Chan duduk di depan sebelah sopir, Van Buren kepala Nefis Kota Padang, sedangkan Van Erp duduk di belakang. Tidak diketahui secara tepat dititik mana di Lapainya terjadi tindakan pengecut itu. Namun rombongan sempat melihat Van Erp yang duduk di belakang sedang memegang benda panjang seperti kayu yang dibungkus kertas. Tindakan itu semakin membuat mereka curiga karena setelah lama tidak juga terlihat kemunculan Bgd. Aziz Chan. Dan itu terbukti ketika menjelang malam datanglah pengawal Belanda yang menyampaikan berita Bgd, Aziz Chan telah meninggal dunia karena tejadinya insiden, dan saat ini jenazahnya dibawa ke Rumah Sakit Militer di Gantiang.
Tanpa menunggu lama mobil sampai rumah sakit bersamaan dengan masuknya ambulance. Banyak orang terpekik. Pada bagian belakang mobil terjulur kaki Bgd. Aziz Chan yang berlumuran darah. Jenazah dibawa ke dalam. Sitti Zaura Usman tanpa kuasa lagi segera merangkul jenazah suaminya itu, disusul oleh rombongan lain yang mengelilinginya walau sempat diizinkan. Terlihat wajah Bgd. Aziz Chan begitu bersih. Pekik dan tangis membahana malam bulan ramadhan itu. Sitti Zaura Usman dengan terisak mencium kening suaminya untuk tekahir kalinya, sementara terlihat bagian kepala sebelan kanan belakang dekat telinga hancur dan memar serta darah yang sudah mengental hitam. A. Marzuki yang ikut dalam rombongan itu segera melaporkan kejadian itu kepada Jhonny Anwar, Said Rasad, A. Latif Sahab dan beberapa orang lainnya yang malam itu sedang berada di Belakang Tangsi. Seketika mereka terkejut dan seketika itu juga Kota Padang gempar.
Jhonny Anwar langsung berangkat ke Rumah Sakit Militer Gantiang. Disana memang terlihat pemandangan yang memilukan. Seorang Walikota Padang dan seorang yang punya kepribadian kukuh, mereka sering bersama menjalankan tugas kebangsaan di kota ini. Kini sosok itu telah terbaring kaku didepan matanya.
Jenazah Bgd. Aziz Chan bermalam satu malam di rumah sakit, dan besok sekitar puku 10.00 Wib. Dibawah kerumahnya di Belakang Olo. Disinilah terlihat jelas bahwa terdapat 3 lubang bekas tembakan dikepala Bgd. Aziz Chan. Bekas tembakan itu menandakan kelicikan tentara Belanda yang tidak bisa menaklukkan keteguhan pendirian Bgd. Aziz Chan.
Kolonel Ismael Lengah pada saat penguburan mengatakan bahwa Bgd. Aziz Chan telah membuktikan kata-katanya bahwa Padang baru akan diduduki tentara Belanda apabila ia tidak ada lagi di atas dunia ini. Jhonny Anwar menguatkan bahwa Bgd. Aziz Chan adalah seorang pejuang besar. Pejuang yang betul-betul murni. Pejuang yang tidak mengenal istilah takut dan mundur. Dia dihormati oleh kawan dan lawan. Dia telah terlalu banyak berjasa dan berbuat di dalam menegakkan kemerdekaan bangsa dan negaranya di Kota Padang. Dia berjuang secara terang-terangan ditengah-tengah musuh yang berkeliaran.
Kematian Bgd. Aziz Chan merupakan awal Belanda melakukan aksi liciknya. Penangkapan-penangkapan dilakukan secara besar-besaran terhadap aparat republik baik polisi maupun pegawai-pegawai. Klimaks dari tindakan Belanda sejak kejadian itu adalah Belanda mulai melancarkan agresi pertama dengan serangan-serangan di seluruh front pejuang-pejuang.
Tugu-tugu dengan rangkaian sebuah monumen tentang Bgd.Aziz Chan ini tersebar dibeberapa tempat seperti di Simpang Kandih (Simpang Lapai), depan bangunan kantor Dinas pendidikan sekarang, depan eks Balaikota Padang dan dalam pekarangan Taman Melati. Beberapa diantaranya didisain oleh Drs. Amril M.Y. Dt. Garang, dengan konsultan Mariazal Umar, Azwar Tongtong Dt. Mangiang dan M. Rasjid. Pembangunannya dikerjakan oleh beberapa guru SMSR Padang (SMKN 4 Padang sekarang).
Tugu dengan simbol tinju di Simpang Kandih menurut Drs. Amril M.Y. Dt. Garang pada awal konsep awal bukanlah demikian, sebab gugurnya BGd. Aziz Chan yang disebabkan akal licik Belanda semestinya patung Bgd. Aziz Chan itu sendiri yang dipajang. Sempat terjadi perdebatan dalam membuat rancangan tugu itu, antara perancang dengan tokoh pejuang, tapi karena semangat juang seorang Bgd. Aziz Chan sebagai Walikota Padang pada masa itu yang menjadi kawan bagi pejuang RI dan lawan bagi tentara Belanda lebih mewarnai suasana pertemuan akhirnya disepakati membuat bentuk tangan terkepal
Berdasarkan arsip statis Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang, monumen tugu Bgd. Aziz Chan ini sekarang terdapat di ditiga tempat, yaitu Tugu Bgd. Aziz Chan di depan Dinas Pendidikan Kota Padang, Tugu Semangat Perjuangan Bgd. Aziz Chan di depan eks Balaikota Padang dan Tugu Peringatan Diseretnya Sampai Wafat Bgd. Aziz Chan di Simpang Kandih Nanggalo.