TUGU PEMUDA SYARIF



Video animasi Kisah Pemuda Syarif

Tugu ini dibangun untuk memperingati perjuangan Mohammad Syarif, pemuda Koto Marapak Kota Padang yang karena keberaniannya menentang penjajah Belanda akhirnya dihukum mati di penjara Belanda di Muara Padang.

 Pemuda Syarif lahir Koto Marapak sekarang. Anak tunggal dari pasangan Abdul Moeis dan Nurliah. Pemuda Syarif tumbuh besar ditengah keluarga pedagang. Ayahnya adalah seorang pedagang keliling yang pernah berdagang sampai ke Jambi dan Singapura. Ia pernah disekolahkan orang tuanya di sekolah Taman Sari, terletak sekitar Kampus Fakultas Hukum Unand Jalan Pancasila sekarang. Dalam pergaulan sehari-hari Pemuda Syarif terkenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi, berani mengambil keputusan, dan taat pada agama.

 Masa muda Pemuda Syarif ikut dalam membela bangsanya dari kaum penjajah. Andil Pemuda Syarif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dapat diawali dengan tersebarnya berita kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan RI.  Beberapa orang Belanda yang selama ini ditawan Jepang di Bangkinang telah berada kembali di Kota Padang. Mereka mengadakan hubungan dengan penduduk yang pernah menjadi orang-orang kepercayaannya dulu, dan menyusun daftar hitam orang berkerja sama dengan Jepang dan akan dituntut sebagai Kolaborator Jepang.

Sementara itu dalam kondisi yang lain, tentara Sekutu dan Nica serta kaki tangannya telah bertindak kejam. Mereka berlindung dibalik alasan akan melucut persenjataan Jepang dan menjamin pemulangan tentara Jepang. Akibat ulah tentara itu, para pemuda-pemuda di Kota Padang mengadakan pembalasan, baik secara berkelompok maupun perorangan yang terlepas dari garis komando. Saat itu rasa jengkel, muak dan sakit hati terhadap tingkah laku seseorang yang memihak pada kehadiran Sekutu dialami oleh seluruh pemuda pejuang. Terutama terhadap golongan etnis. Misalnya suatu tindakan yang dilakukan adalah  “Bumi Angkat”, yaitu mempreteli gedung-gedung dan rumah etnis yang ada di Kota Padang. Rasa kebencian pemuda sudah memuncak sehingga mereka manyamaratakan setiap orang berkulit putih adalah orang Belanda atau kaki tangannya Belanda.

 Orang Belanda atau Belanda-Indo dari Bangkinang seperti disebutkan diatas, mereka sampai ke Padang karena menumpang dengan Tentara Sekutu. Begitu sampai di Padang, mereka beranggapan bahwa Belanda telah menguasai Padang sepenuhnya. Mereka angkuh dan besar kepala karena anggapan itu. Bahkan ada pula yang mencoba mengambil tugas lamanya sebagai aparatur pemerintah dan mencaci masyarakat yang berurusan dengan dirinya. Mereka juga kembali menempati rumah yang ditinggalkan selama ini dan sering mengadakan pesta sampai larut malam. Kondisi ini menyulut kemarahan pemuda di Kota Padang. Sehingga secara diam-diam terjadilah tindakan menganggu ketentraman orang-orang Belanda tersebut. Dalam tindakan itu juga terjadi pembunuhan terhadap orang Belanda secara diam-diam.

 Akibat aksi ini, orang Belanda merasa tidak aman karena jiwanya terancam. Lalu mereka berkumpul disuatu tempat yang dijaga ketat oleh tentara Sekutu. Begitu dengan orang China kaki tangan Belanda mereka berkumpul di suatu tempat di Kampung China. Mereka juga dilindungi oleh Tentara Sekutu.

Bagi Belanda dengan memanasnya situasi Kota Padang ini dimanfaatkan untuk melakukan politik adu domba yang bersifat provokasi sehingga menyebabkan tentara Sekutu turun tangan menghancurkan kekuatan pemuda dan rakyat di Kota Padang.  Pemuda Syarif berada dalam pusaran itu dan melibatkan diri membela daerah, bangsa dan negaranya. Tersiarnya proklamasi kemerdekaan bagi Pemuda Syarif adalah pernyataan semua rakyat yang tidak ingin dijajah dan ingin berdiri di kaki sendiri. Berita kemerdekaan yang semula berpusat di Pasa Gadang tempat beradanya Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) kemudian menyebar sampai ke Pasa Hilia, Pasa Mudiak, Pasa Jawo dan tempat lainnya. Dipasa Hilia para pemuda dari organisasi Islam membentuk Lasykar Hizbullah. Dipasa Jawo para pemuda membentuk organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang diketuai oleh Pandeka Samuik.

 Sekitar Bulan Oktober 1945, PRI kemudian dibentuk di Koto Marapak. Pembentukan ini atas anjuran Ketua BPPI, Ismael Lengah.  Pembentukan PRI ini dilangsungkan di rumah Munir Remi salah seorang anggota PRI. Dari sinilah sepak terjang Pemuda Syarif terlihat menentang kedatangan Belanda bersama kaki tangannya. Dalam rapat itu juga dibentuk kepengurusan PRI Koto Marapak dengan ketua Mohammad Syarif, Wakil Ketua Abdullah Busai dan Sekretaris Yahya. Anggota adalah Sikaman, Badaruddin, Sintot, Daud Malin Maradjo, Kaharuddin Ogo, dan Budjang.

 Dipilihnya Pemuda Syarif sebagai ketua secara aklamasi atas pertimbangan bersifat sosial dan integritasnya selama ini, seperti terpelajar, menguasai administrasi organisasi, jujur, berwibawa, gagah, pandai bergaul, mempunyai jiwa pemimpin, suka membantu orang lain, tidak kikir, tidak sombong, berasal dari keluarga terpandang, mau diajak kompromi atau bermusyawarah dan ikhlas dalam membela tanah air.

 PRI Koto Marapak ini adalah ranting dari PRI Pasa Mudiak. Sebab, di Ujung Pandan sendiri telah berdiri PRI Ujung Pandan yang diketuai oleh Rasjid Moerad dan wakil ketuanya

Anwar Ganin. Ujung Padang dan Koto Marapak sekarang berada dalam wilayah Kel. Olo Kec. Padang Barat

 Satu bulan sesudah terbentuknya PRI Koto Marapak, tepatnya tanggal 18 dan 19 November 1945, Sabtu malam dan Minggu dini hari, terjadi penyerangan pertama pemuda Kota Padang terhadap Belanda. Penyerangan ini menjadi awal bangkitnya kesadaran sebagai bangsa yang sudah merdeka. Pemuda pejuang menentukan sikap bahwa Belanda yang tinggal di pelosok kampung dalam Kota Padang harus disingkirkan dan diusir, bahkan jika perlu jangan diberi “bajajak” (jangan meninggalkan bekas). Tekad pemuda sudah bulat. Tangkap atau kalau perlu dibunuh. Koto Marapak sebagai daerah yang berada dekat dengan pusat Kota Padang berada dalam situasi panas. Dimana-mana terdengar teriakan atau tulisan “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati”.

 Sikap kebencian ini seperti telah disampaikan diatas, timbul karena tingkah laku orang Belanda yang datang dari Bangkinang. Mereka untuk sementara diasramakan di rumah seorang Belanda yang bernama Bordewijk. Rumah itu berada di depan gapura kuburan Belanda (Plaza Andalas sekarang, sebelumnya Terminal Lintas Andalas), terletak di sisi Jl. Olo (sekarang Jl. Pemuda). Jalan ini termasuk jalan utama (kelas 1). Dikiri kanannya berjajar pohon mahoni sehingga teduh dan bersih. Badan jalan beraspal siram yang telah dikeraskan dengan mesin giling. Rumah Bordewijk bercat hijau dan besar sekali. Dirumah ini telah disulap jadi asramanya RAPWI (Rescue Allied Prissoners of War an Interneers), yaitu suatu organisasi Belanda yang dibentuk dalam rangka penyelamatan tawanan perang dan interniran yang sebelumnya tawanan Jepang. Para tawanan Jepang itu di Kota Padang ditampung di Hotel Oranye (Inna Muara Hotel sekarang), Hotel Central (di Jl. Jend. Sudirman sekarang) dan Rumah Sakit Ganting. Rumah Boderwijk ini dipakai untuk mereka yang tidak tertampung di tiga tempat tersebut.

Orang Belanda yang berasrama di rumah Borderwijk ini setiap harinya sangatlah sombong, baik dalam bersikap maupun berbicara dengan masyarakat setempat. Mereka selalu menganggap rendah terutama kepada masyarakat yang menjual dagangan kepada mereka. Ucapan kasar bahkan disertai dengan bentakan sudah sering mereka lakukan. Kecongkakan dan kesombongan orang Belanda ini disampaikan kepada pemuda Ujung Pandan dan Koto Marapak yang sebagian besar adalah anggota PRI. Tentu saja pengaduan itu ditanggapi dengan amarah yang meluap-luap. Ditambah lagi perkataan seperti “Apa itu Indonesia Merdeka, tidak ada itu. Mana ada Republik Indonesia ...!!”. Tidak ada satupun pemuda PRI yang tidak marah mendengarnya. Kebencian mereka sudah diubun-ubun. Sehingga pemuda PRI Ujung Pandan dan Koto Marapak sepakat membalas kecongkakan Belanda tersebut.

Para pemuda mulai mengatur strategi penggempuran. Pertemuan rahasia pun diadakan untuk membahas Jam dan hari serta kode yang digunakan. Peta situasi rumah dibuat oleh Abdullah Busai. Sehingga disepakati rumah Boderwijk akan dikepung dan diserang satu arah yaitu arah laut menghadap ke arah Pasar Raya. Sayap kanan oleh pemuda Ujung Pandan dan sayap kiri pemuda Koto Marapak. Rumah itu akan diserbu dengan menggunakan bola lampu dan botol kosong yang diisi minyak tanah, bensin atau minyak getah yang diberi sumbu. Ditambah dengan senjata-senjata rampasan dari tentara Jepang seperti granat tangan atau singkang (bom yang berbentuk bundar dengan tebal ± dua setengah jari. Senjatan lain dapat digunakan seperti tombak dan parang atau golok.

Sebelum penyerbuan dilakukan pada malam harinya sekitar pukul 22.00 Wib tanggal 18 November 1945, terlebih dahulu diutus seorang pemuda bernama Badaruddin melompati pagar.  Ternyata pagar rumah itu sendiri telah dialiri oleh listrik. Untuk mengatasinya, Liyas St. Maradjo yang pernah bekerja diperusahaan listrik segera memutuskan arus listriknya. Setelah dipastikan aman Badaruddin menyelinap masuk dan membuka sebuah jendela. Badaruddin lalu memberikan kode bunyi suara burung. Mendengar isyarat tersebut, Pemuda Syarif dengan samurai di tangannya langsung meneriakkan “Ayo ...

Serbu ....! Serbu ....!”. Seketika pemuda yang sudah berada diposisinya masing-masing melakukan penyerbuan. Melompati pagar, melemparkan botol dan bola lampu yang sudah disulut ke sebuah jendela yang telah dibuka tadi.

 Orang Belanda dan kaki tangannya waktu itu sedang berpesta dan berdansa. Mendapat serangan diluar dugaan ini mereka terkejut dan panik. Dapat dibayangkan bagaimana kacaunya suasana dalam ruangan rumah Boderwijk. Api semakin besar. Untuk lari keluar tidaklah mungkin karena rumah itu dari segala arah sudah dikepung. Teriakan kepanikan dan teriakan penuh kebencian dari pemuda yang mengepung memecah kesunyian malam di Kampung Olo. Api bertambah besar ketika Abdullah Busai mendorong drum berisi bensin ke dalam rumah itu. Kobaran api yang besar itu menerangi sekitar Kampung Olo dan terlihat semakin jelas karena malam itu bulan purnama walau diringi gerimis dan angin kencang.

 Akhirnya keluarlah orang-orang Belanda menyerahkan diri. Jumlah mereka sebanyak 21 orang, 13 perempuan dan 8 laki-aki, satu diantaranya orang China bernama Hok. Mereka semua digiring dan dikumpulkan di depan rumah Dt. Sinaro di ujung Jl. Ujung Pandan sekarang. Ketika semua sudah keluar tiba-tiba terdengar letusan yang sangat keras sehingga menggegerkan Kota Padang. Letusan itu berasal dari granat tangan dan singkang yang ditinggalkan dan meledak karena terbakar.

 Akan halnya para tawanan setelah dikumpulkan di depan rumah Dt. Sinaro kemudian dibawa ke rumah Senter. Sekitar pukul 3 dinihari, tanggal 19 November 1945, empat orang tawanan dibawa ke sebuah rumpun rumbio (semak belukar) dengan tangan terikat dibelakang. Dua orang diantaranya dibawa ke sebuah lubang dekat pohon kalawi. Keduanya langsung dibunuh dengan menusuk bagian perutnya. Dua orang lagi yang melihat kejadian tersebut mencoba melarikan diri. Satu diantaranya berhasil ditombak oleh Anwar Kapak. Seorang lagi berhasil melarikan diri ke markas Sekutu yang berada di sebuah gereja dekat Taman Melati sekarang. Sedangkan orang China mereka bunuh dengan cara yang sama dan mayatnya dibenamkan ke dalam rawang di Koto Marapak. Kebencian karena sikap angkuh dan menghina kemerdekaan bangsa ini harus mereka tebus dengan nyawa mereka sendiri.

 Melihat kobaran api yang menjulang, tentara Belanda yang bermarkas di banguna eks Balaikota sekarang segera mengirimkan pasukan pemadam kebakarannya, akan tetapi ketika sampai di depan Sekolah Keputrian (Persimpangan Hotel Axana sekarang) dihadang oleh pemuda dan disuruh kembali. Sementara itu, disaat yang bersamaan Abdullah Busai dan Syahruddin pergi ke Parak Karambia untuk menelpon ke Pasa Mudiak melaporkan situasi terkini dan meminta dikirimkan kendaraan angkutan penumpang untuk membawa tahanan yang tinggal 16 orang. Kendaraan yang diminta sampai pada pukul 5.00 Wib (subuh). Waktu itu hujan lebat sehingga membuat para para tawanan basah kuyup. Semua tawanan kemudian dibawa menuju desa Kandih (kawasan Simpang Kandih atau tugu tinju Lapai sekarang). Namun sebelum sampai ketujuan rombongan Abdullah Busai berpapasan dengan mobil Polisi Militer Sekutu yang berisi lima orang. Namun karena waktu itu hari hujan dan masih gelap mobil polisi militer itu hanya lewat. Mereka mungkin beranggapan mobil yang membawa tawanan dengan mulut disumpal itu adalah angkutan umum biasa. Setelah sampai di Kandis para tawanan diserahkan kepada pemuda setempat. Abdullah Busai bersama sopirnya kembali masuk kota. Sedangkan tawanan tadi oleh para pemuda Kandis dibawa ke suatu tempat yang bernama Surau Gadang Kurao (masuk wilayah Kuranji), dan selanjutnya di bawa lagi ke Batu Busuk. Ditempat inilah ke-16 tawanan itu dibunuh oleh pemuda setempat. Kebencian terhadap penjajahan dan kembalinya Belanda yang ingin kembali menjajah telah merasuki setiap jiwa masyarakat Kota Padang waktu itu sehingga hal ini terjadi.

 Sementara seorang tawanan yang berhasil menyelamatkan diri ke sebuah gereja dekat Taman Melati tadi langsung melaporkan kejadian yang sesungguhnya kepada tentara Sekutu yang bermarkas di Hotel Oranye. Segera Sekutu dibantu NICA dan kaki tangannya hari itu, Minggu 19 November 1945 melakukan penangkapan besar-besaran. Mengepung, menggeledah dan menangkap semua pemuda Kampung Koto Marapak. Abdullah Busai yang baru kembali mengantarkan tawanan ternyata tidak langsung pulang ke Koto Marapak. Sopir yang membawa angkutan umum kembali ke Pasa Jao sedangkan Abdullah Busai setelah berganti pakaian dibonceng oleh Yulidar menuju Kampung Jati dan kemudian balik lagi ke Los Lambuang (Pasar Raya sekarang) untuk melepas lelah sambil mengisi perut. Ditempat ini seorang pemuda menghampiri Abdullah Busai dan menyampaikan informasi bahwa Kampuang Koto Marapak sudah dikepung Sekutu. Beberapa pemuda telah ditangkap, misalnya Daud Malin Maradjo.

 Begitu mendapat laporan tentara Sekutu bersama NICA Belanda dan kaki tangannya melakukan penyisiran dan penjagaan ketat terhadap Kampuang Koto Marapak dan sekitarnya, bahkan sampai ke Jl. Samudera dan Jl. Hangtuah sekarang. Setiap berjarak lima meter terlihat tentara Sekutu berjaga-jaga lengkap dengan persenjataannya. Mulai hari Minggu itu setelah kejadian malamnya, Koto Marapak dalam kondisi menakutkan karena Sekutu selalu datang berpatroli. Mereka berhasil menangkap 20 orang pemuda disuatu tempat dikawasan antara Jl. Ujung Pandan dan Jl. Koto Marapak, dan membawanya ke Penjara Muaro padang. Disana mereka diinterogasi dengan kejamnya. Bujang yang sempat tertangkap tidak mau mengakui dirinya ikut dalam penyerbuan malam itu. Tiga hari setelah ditangkap dan ditahan, kira-kira tanggal 22 November 1945, barulah Pemuda Syarif tertangkap dan juga  dibawa ke Penjara Muaro Padang. Setelah Pemuda Syarif tertangkap, pemeriksaan penyiksaan atas diri Bujang mulai berkurang. Begitu juga interogasi terhadap Dauh Malin Maradjo yang  ikut berkurang.  Tentang penangkapan Mohammad Syarif terdapat dua versi. Versi pertama; Pemuda Syarif setelah kejadian lebih sering tidak berada di Koto Marapak tapi masih di Kota Padang. Lalu disebarkan berita bahwa orang tuanya sedang dalam keadaan sakit. Karena Pemuda Syarif adalah anak tunggal, patuh dan sayang kepada orang tunya, maka ia segera pulang kerumahnya. Ternyata berita itu adalah tipuan untuk menjebak. Seorang “tukang tunjuk” (kaki tangan Belanda dari bangsa sendiri) yang sedang mengintai segera melaporkan kepada tentara Sekutu bahwa Pemuda Syarif sedang berada di rumhanya. Selang waktu kemudian rumah itu dikepung dan Pemuda Syarif berhasil ditangkap. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 26 November 1945. Versi kedua; Berdasarkan keterangan Sekretaris PRI Ranting Koto Marapak, Yahya, suatu siang ia bersama Pemuda Syarif pergi ke Toko Berita di Pasa Jao untuk membeli obat gatal-gatal. Pulang dari sana mereka langsung ke rumah Pemuda Syarif dan sempat makan bersama. Setelah makan Yahya pergi sedangkan Pemuda Syarif tertidur. Saat tidur itulah rumahnya sudah dikepung Pasukan Belanda dan Pemuda Syarif dibawah ke Penjara Muaro Padang.

 Setelah Pemuda Syarif tertangkap Belanda melepaskan 20 orang pemuda Koto Marapak yang dianggap tidak terlibat. Bersama Pemuda Syarif yang masih ditahan adalah Daud Malin Maradjo, Budjang (sopir), Amin, Raba’in, Syahbuddin, dan Papang.

Didalam penjara Pemuda Syarif diinterogasi dan disiksa sehingga sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan biru lebam. Selama dua tahun Pemuda Syarif mendeka di panjara. Selama itu pula jiwa dan raganya disiksa. Setelah Tentara Sekutu menyerahkan Kota Padang kepada Penguasaan Tentara Belanda (28 November 1946), Pemuda Syarif baru mulai menjalani serangkaian sidang di pengadilan tingginya Belanda, begitu juga dengan tahanan pemuda Koto Marapak lainnya. Belanda sepertinya sengaja menunda-nunda persidangan Pemuda Syarif dan kawan-kawan, sebab untuk melakukan tindakan lebih jauh yang lebih esktrim mereka sadar diri bahwa mereka ke Padang ini karena membonceng dengan Sekutu.

            Keputusan masa hukuman untuk pemuda Koto Marapak bervariasi. Mereka ada yang dijatuhi hukuman penjaran 12 sampai 15 tahun. Sedangkan Pemuda Syarif dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Pemuda Syarif kemudian mengajukan grasi. Pengadilan Belanda yang waktu itu diketuai oleh Mr. Liem menolak permohonan grasi ini, malahan menjatuhkan hukuman mati atau ditembak sampai mati.

Pada akhirnya setelah melalui proses pengadilan yang cukup panjang, Pemuda Syarif ditembak mati dalam Penjara Muaro Padang pada tanggal 1 November 1947. Eksekusi dilaksanakan dekat dinding penjara arah selatan, dibelakang kamar penjara nomor 29 dan 30. Proses pelaksaan eksekusi ini menjadi perhatian utama sehingga membuat para penjaga menjadi lengah. Akibatnya situasi ini dimanfaatkan oleh pemuda Koto Marapak yang ditahan untuk melarikan diri dengan cara memanjat pagar tembok penjara. Mereka yang lolos sebanyak 18 orang.

 Pada saat eksekusi tembak mati, Pemuda Syarif tidak ingin memakai penutup mata, tetapi permintaan tersebut ditolak. Dengan tidak gentar sedikitpun ditantangnya peluru yang menembus dadanya. Sebelum ditembak Pemuda Syarif tidak mengajukan permintaan terakhir apapun, selain dari mulutnya terdengar sebaris pantun :

Diatas pisang dibawah jantung

Ditengah-tengah pohon kepala

Biar ditembak atau digantung

Asal Indonesia tetap merdeka

 Sungguh kekuatan yang luar biasa dari seorang Pemuda Syarif. Disaat maut sudah didepan mata, namun masih bisa mengendalikan pikiran dan perasaannya untuk menyampaikan sebait pantun.

 Jenazah Pemuda Syarif dibawah pengawalan tentara Belanda dibawa ke luar penjara, dan diterima oleh pemuda Koto Marapak yang mengetahui peristiwa eksekusi tersebut. Dibawah perintah Daud Malin Maradjo, jenazah Pemuda Syarif diselenggarakan menurut agama Islam. Pada hari itu juga jenazah Pemuda Syarif dimakamkan di dipinggi jalan dibawah pohon ketaping besar. Sekarang pohon itu masih ada yang terletak di depan Hotel Bumi Minang atau depan Mariani Hotel. Ditempat yang sama juga telah dimakamkan Muhammad Hasyin yang meninggal karena ditendang perutnya oleh serdadu Belanda.

Sekitar tahun 1950-an, atas inisiatif Pemuda Koto Marapak yang diprakarsai oleh Hasan Basri Maatan, makam Pemuda Syarif dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Lolong Padang.


Tugu ini didisain oleh Drs. Nasbahri C. Koto.



16, Jan 2024
| 312 days ago

Contact Us

Dispusip Kota Padang

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang
dispusip@padang.go.id

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang
(0751) 895025

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang
Jl. Jend. Sudirman No. 1, Kel. Kampung Jao, Kec. Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, 25112

Perpustakaan Daerah Kota Padang
Jl. Batang Anai No.12, Kel. Rimbo Kaluang, Kec. Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, 25111